Apa yang ditawarkan ilmu pengetahuan dengan memunculkan istilah asertif
dalam komunikasi itu sebetulnya jalan tengah. Jalan tengah di sini adalah cara
yang paling tepat, paling lebih kecil negatifnya, atau paling dekat dengan
efektivitas dan efisiensinya dalam komunikasi. Banyak bukti menunjukkan bahwa
berkomunikasi secara asertif meningkatkan produktivitas, keharmonisan, dan jauh
dari konflik yang dipicu oleh hal-hal sepele.
Seperti kita tahu, pengertian umum dari asertivitas itu adalah kemampuan
seseorang dalam mengutarakan apa yang dirasakannya dengan cara-cara yang sopan,
bisa diterima oleh naluri universal manusia (mempertimbangkan posisi orang
lain), dan dengan memilih kalimat, argumen, atau alasan yang kuat. Dalam beberapa
literatur komunikasi sering dijelaskan bahwa asertivitas itu adalah kemampuan
seseorang dalam mengekspresikan pendapat, perasaan, sikap dan hak dengan cara
yang meyakinkan tanpa melanggar hak orang lain (Self-assertion for Women,Pamela Butler, 1981, dll)
Misalnya kita menerima sms untuk menghadiri acara launching
buku yang dipanitia nya kawan sendiri. Dengan membaca sekilas saja, kita sudah
tahu pasti kita tidak bisa datang karena alasan yang sangat spesifik. Kita
kemudian menjawabnya dengan meminta maaf dan terima kasih atas undangannya.
Supaya lebih asertif lagi, kita tambah dengan kalimat, tolong lain kali saya
dikabari sehari-dua hari sebelumnya supaya bisa mengatur waktu. Ini mungkin
hanya sekedar contoh umum.
Lawan dari asertif (ekstrim kanannya) adalah mendiamkan apa yang kita
rasakan tentang orang lain (non-assertive passive). Banyak benih konflik yang akhirnya berubah menjadi koflik besar di luar
kontrol karena mendiamkan perasaan. Meminjam istilahnya Hawk Williams (1996), mendiamkan perasaan (terutama yang negatif tentang orang lain), sangat
berpotensi membuat kita kehilangan perspektif yang sehat terhadap orang itu.
Maksud dari perspektif yang sehat di sini adalah kita sudah tidak bisa lagi
melihat sisi positif dari sekian sisi negatif yang kita versikan tentang orang
itu. Kita sudah berkesimpulan bulat bahwa memang si Anu itu jelek. Padahal,
mungkin saja si dia masih punya kebaikan.
Katakanlah di rumah kita ada seorang pekerja, entah
itu sopir atau pembantu (baca: pekerja rumah tangga) atau lainnya. Menurut
kita, dia itu sudah sering melakukan kesalahan, tetapi kita hanya terus
berharap dia sadar dengan sendirinya tanpa mengutarakannya atau mengarahkannya
supaya tidak melakukan kesalahan. Jika ini terus terjadi, sangat
mungkin kita akan kehilangan perspektif. Padahal, seandainya saja kita mau
mengutarakan perasaan kita secara asertif, mungkin saja ini tidak terjadi.
Lawannya lagi (ekstrim kirinya) adalah tidak bisa
mendiamkan perasaan (non-assertive aggressive). Tanpa rasa dosa kita
mengutarakan apa yang kita rasakan tentang orang lain dan kita tidak mau peduli
apakah bahasa kita itu enak di perasaan si penerima atau tidak. Yang penting
buat kita adalah kita sudah mengutarakan apa adanya. Untuk meyakinkan si
penerima, kita berdalih dengan kejujuran. "Jujur lho saya katakan
itu!"
Nah, dalam literatur ilmu pengetahuan apapun, yang
namanya asertivitas itu sangat terkait dengan istilah kemampuan (the ability);
bahkan dalam literatur manajemen disebutnya dengan istilah kompetensi.
Maksudnya di situ adalah, seseorang menjadi asertif karena ada proses perbaikan
yang dijalankan atau ada usaha untuk memperbaiki cara berkomunikasinya. Ini berbeda dengan dua lawannya itu (ekstrim kanan dan kiri). Tidak ada
yang menyebutnya sebagai kemampuan. Keduanya sering disebut sebagai "attitude".
Memang, untuk menjadi asertif dalam
mendemonstrasikan perasaan itu tidak ada cara yang mudah. Dalam arti bahwa
begitu ada keinginan langsung terwujud menjadi kenyataan. Orang yang sekelas
Tony Blair saja mengakui ini. Seperti dikutip dalam sejumlah situs motivasi,
Tony Blair katanya pernah mengatakan begini: "Yang sulit adalah mengatakan
"Tidak"
Kemampuan dalam menjalin hubungan
dengan
orang lain adalah
"komoditas" yang harganya mahal.
(John D Rockefeller)
Mengukur Tingkat Asertivitas
Seperti yang saya singgung di muka, asertivitas itu
kemampuan. Namanya juga kemampuan, tentu ini terkait dengan sejauhmana
kita selama ini meningkatkan kemampuan itu. Sekedar sebagai acuan pribadi, kita
bisa menjadikan petunjuk di bawah ini sebagai panduan untuk perbaikan diri.
Asertivitas kita masih tergolong rendah apabila
cara kita dalam berkomunikasi masih didominasi oleh karakteristik umum di bawah
ini:
·
Kita lebih sering memilih
mendiamkan orang lain karena takut dibenci, takut salah paham, atau takut
orangnya tersinggung, atau sebel.
·
Kita lebih sering memilih
mengungkapkan apa adanya dari apa yang kita rasakan tentang orang lain tanpa
memikirkan bahasa, ungkapan, dan perasaan orang lain (hantam kromo)
·
Kita lebih sering menggunakan
bahasa atau penjelasan yang sangat normatif (terlalu sopan) sehingga kemana
maksudnya, apa alasannya dan ditujukan kepada siapanya tidak jelas. Lebih-lebih
jika ini kita tambah lagi dengan pernyataan yang ngalor ngidul.
Untuk tingkat asertivitas yang sudah berskala
menengah, petunjuk yang bisa kita jadikan pedoman antara lain:
·
Kita sudah lebih sering mampu
mengutarakan isi perasaan ke orang lain dengan bahasa dan ungkapan yang sudah
kita seleksi dan sasaran yang kita inginkan bisa dipahami orang lain.
·
Kita sudah lebih sering mampu
mengarahkan orang lain dengan penjelasan dan alasan yang detail sehingga orang
lain bisa menangkapnya atau bisa mendorong orang lain untuk meningkatkan
prestasinya
·
Kita sudah sering mampu
mengatakan "Tidak" dan "Ya" untuk alasan, kebutuhan, dan
keadaan yang tepat. Kita mengatakan "Tidak" untuk demand yang
tidak rasional.
·
Kita sudah sering mampu
menjelaskan kekurangan orang lain dengan semangat, bahasa, dan penjelasan yang
mendorong orang lain untuk memperbaikinya. Misalnya saja kita sudah memakai
data, fakta, rujukan ilmiah atau alur berpikir yang lebih jelas dan kongkrit
·
Kita sudah sering mampu
meluluhkan ke-ngeyel-an, defensivitas, dan subyektivitas orang lain
dengan cara yang bagus, termasuk mampu menjelaskan konsekuensi tindakannya
secara detail dan bisa diterima.
Sedangkan yang termasuk dalam kategori tingkat
tinggi itu ciri-ciri umumnya antara lain:
·
Kita sudah tidak takut dengan
potensi konflik, tidak juga punya ulah yang memancing konflik, dan di atas
semua itu, kita sudah sering terbukti mampu menghadapi konflik dengan baik.
·
Kita sudah terlatih menempuh
cara-cara menghadapi konflik dengan terbuka, fair, dan memfokus pada
isu, persoalan, interest, atau kemanfaatan, bukan karena sentimen pribadi, atau
menggunakan cara-cara yang di belakang (menusuk dari belakang)
·
Kita sudah terbiasa menyelesaikan
konflik dengan sebuah keputusan untuk bersepakat, entah itu bersepakat
untuk sepakat atau bersepakat untuk tidak bersepakat, atau sudah terbiasa
melakukan perundingan yang win-win atau lose-lose. Istilahnya
adalah gentle menghadapi persoalan.
"Dua orang tidak bisa
menjadi akrab apabila
gagal memaafkan kegagalan
kecil."
(Jean De La Bruyere)
Hambatan & Solusi
Normalnya, semua orang akan mendambakan cara
berkomunikasi yang asertif. Tapi untuk merealisasikannya dibutuhkan kemampuan
mengetahui dan mengatasi beberapa hambatan, baik internal atau eksternal. Yang
umum, dari sekian hambatan itu antara lain:
Pertama, kalah oleh stereotype
yang kita ciptakan sendiri atau oleh orang lain. Kalau kita sudah
berkesimpulan ini memang gaya saya sebagai seorang perempuan atau laki-laki,
sebagai orang kelahiran Batak, Jawa, atau Madura, hampir dipastikan kita gagal
memperbaiki, meskipun sebetulnya kita mampu. Menurut pengalaman banyak orang,
cara yang rasional untuk mengalahkan stereotype adalah dengan
memunculkan dorongan untuk berubah dan menemukan model dari orang-orang yang
pernah di-stereotype-kan seperti kita. Jika selama ini kita
berkesimpulan karena ke-perempuan-an kitalah yang membuat kita sering memendam
perasaan, kita bisa cari perempuan lain yang bisa mengungkapkan perasaannya
secara asertif.
Kedua, malas
berpikir, maunya jalan pintas, dan semisalnya, sehingga kita gagal menemukan
bahasa, ungkapan, atau gaya yang enak diterima orang lain. Untuk orang yang
sama sekali belum terbiasa mengungkapkan perasaan secara asertif, latihannya
adalah dengan menciptakan skenario mental ditambah lagi dengan referensi orang
lain. Misalnya kita sudah membayangkan apa yang kita katakan untuk menghadapi si
A ketika begini, begini, dan begini. Kalau kita belum punya jurus,
kita bisa mencontoh orang lain. Ini memang tidak menjamin keberhasilan, tetapi
sebagai latihan, ini diperlukan.
Ketiga, kalah oleh
opini, konsepsi, dan persepsi negatif yang kita ciptakan sendiri. Seorang ayah
yang sudah menciptakan berbagai opini negatif tentang anaknya yang bernama si
A, misalnya ingat nakalnya saja, ingat nilainya yang jeblok, ingat
pembangkangannya saja, hampir dipastikan sulit berkomunikasi secara asertif.
Yang akan muncul lebih dulu adalah ungkapan atau gaya yang dipicu oleh rasa
kecewa dan amarah. Dari catatan Dr. Dilip Abayasekara, Ph.D., asertivitas itu sangat terkait
dengan sikap dan penilaian kita. "Jika Anda menghargai, menghormati, dan
mencintai sesuatu, Anda mudah menjadi asertif terhadap sesuatu itu",
tulisnya.
Keempat, keminderan atau rasa tanggung jawab yang rendah.
Keminderan berakar dari rasa takut (fear), rasa kurang (lack),
dan rasa kosong (empty). Rasa takut bisa membuat kita memendam perasaan
terlalu lama atau meletupkan perasaan terlalu cepat. Kalau kita sering cepat
"nyolot", tidak berarti itu keberanian yang mendorong kita,
melainkan lebih sering rasa takut yang tidak terkontrol.
Dengan kata lain, untuk meningkatkan asertivitas, yang diperlukan bukan semata
menghafalkan tip berkomunikasi, melainkan lebih pada pembenahan jiwa. Semakin
"pede" jiwa kita, semakin asertif cara komunikasi kita. Jiwa
bisa ditingkatkan "pede"-nya dengan membekali data, fakta,
pengalaman, komitmen, atau pengetahuan di bidang itu. Misalnya saja kita tidak
setuju dengan pendapat orang banyak tentang suatu urusan. Sejauh kita punya
pengetahuan yang mendalam tentang bidang itu, rasa takut kita pasti berkurang
atau kita tetap pede dengan pendirian kita. Hilangnya rasa takut dan
meningkatnya kepercayaan diri dapat membuat dada kita lebih luas.
Kelima, cepat terpancing atau termanipulasi oleh
situasi. Ini bisa kita lihat di jalan raya. Orang tersenggol sedikit saja,
langsung ingin berkelahi. Bahkan seorang pengantin yang naik mobil mewah untuk
dinikahkan saja bisa berkelahi dulu karena mobilnya lecet. Ini bisa terjadi
karena kita mudah terbawa emosi dan situasi di tempat itu. Memang, diakui atau
tidak, tempat dan waktu itu mempengaruhi asertivitas seseorang. Supaya kita
tidak cepat terpancing, cara yang diperlukan adalah mengontrol diri dan
mengarahkan percekcokan mulut pada kesepakatan, keputusan atau
penyelesaian.
"Kalau alat yang Anda miliki hanya palu, Anda
akan
terbawa untuk melihat semua persoalan seperti
paku."
(Abraham Maslow)
Oleh :
Ubaydillah, AN