1.3. PENGERTIAN
a. Pajak
Pajak adalah “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan).
b. Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak.
c. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.
d. Wajib Pajak
Wajib Pajak, sering disingkat dengan sebutan WP adalah orang pribadi atau badan (subjek pajak) yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Wajib pajak bisa berupa wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan. Wajib pajak pribadi adalah setiap orang pribadi yang memiliki penghasilan diatas pendapatan tidak kena pajak. Di indonesia, seiap orang wajib mendaftarkan diri dan mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP), kecuali ditentukan dalam undang-undang.
e. Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalahPengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan barang kena pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak pertambahan Nilai (PPN) tahun 1984 dan perubahannya.
f. Koperasi
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang melaksanakan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan yang bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya
g. Usaha Kecil
Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau besar, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp. 500.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memilik penjualan lebih dari Rp. 300.000.000,- sampai dengan 2.500.000.000,-
h. Usaha Menengah
Usaha Menengah adalah Usaha Ekonomi Produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil dan besarm memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp. 10.000.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,- sampai dengan Rp. 50.000.000.000,-
BAB II
JENIS DAN MANFAAT PAJAK
2.1. Jenis Pajak
Sesuai dengan peraturan perundangan, jenis pajak yang dapat dipungut terdiri atas pajak pusat dan pajak daerah.
2.1.1. Pajak Pusat
Pajak Pusat adalah pajak–pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan, yaitu :
a. Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorium, hadiah, dan lain sebagainya.
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, Perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 10%. Yang dimaksud dengan Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atas nya.
Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
1) barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
a) minyak mentah (crude oil);
b) gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
c) panas bumi;
d) asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
e) batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
f) bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
2) barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, meliputi:
a) beras;
b) gabah;
c) jagung;
d) sagu;
e) kedelai;
f) garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g) daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
h) telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
i) susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
j) buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
k) sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
3) makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
4) uang, emas batangan, dan surat berharga.
Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a. jasa pelayanan kesehatan medik, meliputi:
1. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
2. jasa dokter hewan;
3. jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
4. jasa kebidanan dan dukun bayi;
5. jasa paramedis dan perawat;
6. jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium;
7. jasa psikologi dan psikiater;dan
8. jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
b. jasa pelayanan social, meliputi:
1. jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
2. jasa pemadam kebakaran;
3. jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
4. jasa lembaga rehabilitasi;
5. jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan
6. jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial.
c. jasa pengiriman surat dengan perangko, meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.
d. jasa keuangan, meliputi:
1. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
2. jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
3. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
a) sewa guna usaha dengan hak opsi;
b) anjak piutang;
c) usaha kartu kredit; dan/atau
d) pembiayaan konsumen;
4. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
5. jasa penjaminan.
e. jasa asuransi;
Yang dimaksud dengan "jasa asuransi" adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi
f. jasa keagamaan, meliputi:
1. jasa pelayanan rumah ibadah;
2. jasa pemberian khotbah atau dakwah;
3. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
4. jasa lainnya di bidang keagamaan.
g. jasa pendidikan, meliputi:
1. pendidikan luar sekolah.
2. jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional dan jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
h. jasa kesenian dan hiburan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.
i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k. jasa tenaga kerja, meliputi:
1. jasa tenaga kerja;
2. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
3. jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
l. jasa perhotelan, meliputi:
1. jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
2. jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan kartu Tanda Penduduk.
n. Jasa penyediaan tempat parkir;
Yang dimaksud dengan "jasa penyediaan tempat parkir" adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran.
o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
Yang dimaksud dengan "jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam" adalah jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.
p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. Jasa boga atau katering
b. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM, yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
• Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
atau
• Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
• Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
• Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukan status; atau
• Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat serta menggangu ketertiban masyarakat.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 42 Tahun 2009 tantang Perubahan ketiga Atas Undang-Undang Noor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0 % (nol persen) diterapkan atas :
a. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
c. Ekspor Jasa Kena Pajak.
Sedangkan untuk tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10 % (sepuluh persen) dan paling tinggi 200 % (dua ratus persen). Ekspor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah dikenai pajak dengan taraif 0 %.
c. Bea Materai
Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal di atas jumlah tertentu sesuai denganketentuan.
Pajak Daerah
Undang-undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah sebagai landasan hukumnya adapun pengertian Pajak daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah daerah baik ditingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Pajak – pajak yang dipungut oleh Pemerintah daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi :
1). Pajak Provinsi (Ps 2 ayat (1) UU Nomor 28 tahun 2009) :
• Pajak Kendaraan Bermotor;
• Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
• Pajak Bahan Bakar kendaraan Bermotor;
• Pajak Air Permukaan;
• Pajak rokok.
2). Pajak Kabupaten/Kota (Pasal 2 ayat (2) UU No. 28 tahun 2009)
• Pajak hotel;
• Pajak restoran;
• Pajak Hiburan;
• Pajak Penerangan Jalan;
• Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
• Pajak Parkir.
• Pajak Air Tanah;
• Pajak Sarang Burung Walet;
• Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pedesaan dan Perkotaan;
• Bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
2.2. Manfaat Pajak
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonmian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembagunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi, di biayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat di lahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya di biayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.
Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) diatas pajak, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.
Pemerintah pusat membagi penerimaan pajak pusat untuk menciptakan keadilan dan pemerataan pendapatan antar daerah. Untuk daerah yang pendapatan asli daerahnya rendah akan terbantu dengan diberikannya dana bagi hasil pajak.
Pajak penghasilan Orang Pribadi dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi kepada daerah dengan imbangan 80 % untuk pemerintah pusat dan 20 % untuk pemerintah daerah. Hal ini dimaksudkan untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Hasil Bagi Pajak dippergunakan untuk penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, pembangunan jalan dan jembatan.
BAB III
KEWAJIBAN PERPAJAKAN BADAN USAHA SEBAGAI SUBJEK PAJAK
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, dinyatakan bahwa Koperasi adalah badan usaha, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah, disebutkan bahwa UKM dapat berbentuk badan usaha atau perorangan.
Untuk lebih memudahkan pengguna dalam memahami buku informasi kebijakan perpajakan bagi Koperasi dan UKM ini, maka pembahasan kewajiban perpajakan bagi koperasi dan UKM sebagai subjek pajak dibagi atas 2 (dua) bagian yaitu bagian pertama, Kewajiban perpajakan bagi Koperasi dan UKM yang berbentuk badan usaha dan bagian kedua Kewajiban perpajakan bagi UKM yang berbentuk perseorangan.
3.1. Kewajiban Perpajakan Bagi Koperasi dan UKM yang Berbentuk Badan Usaha
Sesuai pasal 1 angka 3 Dalam ketentuan perpajakan yaitu UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2007, yang dimaksud dengan Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Berdasarkan defenisi tersebut, jelaslah bahwa koperasi termasuk sebagai Badan menurut UU Perpajakan. Demikian juga dengan UKM yang berbentuk perseroan terbatas, perseroan komanditer, firma, kongsi, perkumpulan, persekutuan, juga sebagai Badan menurut UU Perpajakan. Selanjutnya, Koperasi dan UKM disebut juga sebagai Wajib Pajak, karena telah memenuhi persyarat subjektif yaitu subjek pajak badan dan persyarat objektif yaitu menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan (Pasal 2 ayat (1) UU KUP dan penjelasannya). Sebagai wajib pajak tentunya memiliki kewajiban perpajakannya sebagaimana diatur dalam UU Perpajakan.
Kewajiban perpajakan bagi Koperasi dan UKM adalah :
a. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dan atau PKP;
Koperasi dan UKM yang berbentuk badan usaha setelah didirikan wajib mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Syarat-syarat pendaftaran untuk mendapatkan NPWP bagi koperasi :
1). Akte Pendirian dan perubahan terakhir atau surat keterangan penunjukan kantor pusat bagi Bentuk Usaha Tetap;
2). NPWP Pimpinan/Penanggung Jawab Badan;
3). KTP bagi penduduk Indonesia, atau paspor bagi orang asing sebagai penanggung jawab.
Koperasi yang sampai dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai pengusaha kecil ( Rp. 600 Juta), wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir masa pajak berikutnya. Dengan pengukuhan sebagai PKP maka koperasi terikat pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai, antara lain memungut PPN dari setiap Barang Kena Pajak dan atau Jasa kena Pajak yang diserahkan oleh Koperasi serta menyetor dan melaporkannya setiap bulan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Koperasi terdaftar.
b. Melakukan Pemotongan Pajak Penghasilan;
Koperasi dan UKM yang berbentuk badan usaha wajib melakukan pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana telah ditetapkan dalam UU PPh tersebut. Ketentuan UU PPh yang menunjuk Koperasi dan UKM yang berbentuk badan usaha wajib memotong PPh adalah :
1). PPh Pasal 21
Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehu¬bungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan. Kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 wajib dilakukan Koperasi dan UKM yang berbadan hukum, setiap dilakukannya pembayaran penghasilan kepada karyawan atau orang pribadi lainnya dan menyetorkan PPh hasil pemotongan tersebut ke Bank persepsi atau kantor Pos serta melaporkannya ke kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Pajak (KP2KP) tempat Koperasi atau UKM terdaftar.
Contoh Perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasikan teratur :
Pak Kosim karyawan Koperasi Prima bekerja sebagai Manajer dengan memperoleh gaji sebulan (penghasilam bruto) Rp.4.700.000,00 dan untuk jaminan hari tuanya membayar sendiri iuran hari tua sebesar Rp. 100.000,00 Pak Kosim telah memiliki NPWP dan telah menikah serta memiliki satu orang anak ( K/1).
Penghasilan bruto :
Gaji pokok Rp. 2.500.000
Tunjangan jabatan Rp. 1.000.000
Tunjangan isteri Rp. 750.000
Tunjangan pangan Rp. 250.000
Tunjangan anak Rp. 200.000
---------------------- Total penghasilan bruto (gaji)
.
Rp.
4.700.000,00
Potongan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp. Rp.4.700.000,- Rp. 235.000,00
2. Iuran Pensiun Rp. 100.000,00
Rp. 335.000,00
Penghasilan Netto 1 bulan Rp. 4.365.000,00
Penghasilan Netto 1 tahun
(12 x Rp.4.365.000,-) Rp. 52.380.000,00
PTKP setahun
- WP sendiri Rp. 15.840.000,00
- Tambahan WP kawin Rp. 1.320.000,00
- Tambahan 1 orang anak Rp. 1.320.000,00
PTKP Rp. 18.480.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 33.950.000,00
PPh Psl 21 terutang setahun Rp. 1.697.500,00
(5% x Rp.33.950.000,00)
PPh Psl 21 terutang sebulan Rp. 141.458,33
(Rp. 1.697.500,00 / 12)
Contoh Perhitungan PPh Pasal 21 bagi yang tidak memiliki NPWP :
Pak Sapto K/2 (menikah, memilik 2 anak ) karyawan CV Adil, dengan jabatan kepala bagian pemasaran gaji sebulan Rp. 10.500.000,00 , setiap bulan membayar sendiri asuiransi hari tua sebesar Rp. 150.000,00 .Pak Sapto tidak memiliki NPWP
Penghasilan bruto Rp. 10.500.000,00
Potongan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp. 10.500.000,00 Rp. 500.000,00
2. Asuransi hari tua Rp. 150.000,00
Rp. 650.000,00
Penghasilan Netto 1 bulan Rp. 9.850..000,00
Penghasilan Netto 1 tahun
(12 x Rp.9.850.000,00) Rp. 118.200.000,00
PTKP setahun
- WP sendiri Rp. 15.840.000,00
- Tambahan WP kawin Rp. 1.320.000,00
- Tambahan 2 orang anak Rp. 2.640.000,00
Rp. 19.800.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 98.400.000,00
PPh Psl 21 terutang setahun .
(5% x Rp. 50.000.000,00)
(15% x Rp.48.400.000,00
PPh Ps.21 terutang setahun Rp.
Rp.
Rp. 2.500.000,00
7.260.000,00
-------------------
9.760.000,00
PPh Psl 12 terutang sebulan Rp. 813.333,33
(Rp. 9.760.000,00 / 12)
Kenaikan tarif pajak 20% lebih tinggi karena tidak memiliki NPWP
(20% x Rp.813.333,33) Rp. 162.666,67
Jumlah PPh Psl 21 perbulan Rp. 976.500,00
Contoh Perhitungan PPh Pasal 21 atas penerimaan honorarium
Ali seorang konsultan (tenaga ahli) koperasi dan menerima honor sebesar Rp. 1.000.000,00. dari Koperasi Makmur,
Penghitungan PPh Pasal 21 atas honor langsung dipotong ( Pasal 17):
5% x Rp.1.000.000 = Rp. 50.000
Contoh cara Perhitungan PPh Pasal 21 atas penerimaan komisi.
Tri seorang pedagang perantara barang dagangan dari produsen UKM Cipta Karya, dalam bulan Desember 2009 menerima komisi sebesar Rp. 2.000.000,00
PPh Pasal 21 = 5% x Rp. 2000.000 = Rp. 100.000
Contoh Perhitungan PPh Pasal 21 atas hadiah
Bimo pemain bulu tangkis berdomisili di Bandung, menjadi juara dalam kejuaraan Hari Koperasi dan mendapat hadiah Rp. 25.000.000,00 dari Koperasi Rakyat Sejahtera.
PPh Pasal 21 yang terutang atas hadiah turnamen adalah :
25% x Rp. 25.000.000 = Rp. 6.250.000
Contoh Perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur (upah)
Permana pada bulan Agustus 2009 bekerja sebagai buruh harian pada PT Petro ,memperoleh upah perhari sebesar Rp. 150.000,00. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang :
Upah sehari = Rp. 150.000
Batas Upah harian yang Tidak di potong PPh = Rp. 110.000
PKP Sehari = Rp. 40.000
PPh Pasal 21 Sehari
(5% x Rp. 40.000) = Rp. 2000
Contoh Perhitungan PPh Pasal 21
Budi (belum nikah dantidak punya tanggungan) adalah pegawai honorer koperasi X yang dibayar tiap bulan sebesar Rp1.000.000,
Penghitungan PPh pasal 21 :
Penghasilan sebulan Rp1.000.000
PTKP Rp1.320.000 _
Tidak terutang PPh pasal 21
2). PPh Pasal 4 ayat (2)
PPh Pasal 4 ayat (2) adalah pajak atas penghasilan yang berasal dari sumber-sumber tertentu dan pengenaan bersifat final (penghitungan PPh-nya selesai setelah dibayarkan), misalnya penghasilan dari bunga simpanan yang dibayarkan oleh Koperasi kepada anggota koperasi Orang Pribadi, penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan, penghasilan dari jasa konstruksi dan penghasilan dari hadiah undian. Jika koperasi atau UKM yang berbadan hukum melakukan pembayaran atas jenis-jenis penghasilan ini, maka wajib dilakukan pemotongan PPh-nya dan menyetorkan PPh nya ke Bank persepsi atau kantor Pos serta melaporkannya ke kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Pajak (KP2KP) tempat Koperasi atau UKM terdaftar.
Objek PPh Pasal 4 ayat (2) juga ada dari penghasilan lainnya yang apabila Koperasi dan UKM menerima wajib disetor sendiri misalnya penghasilan dari penjualan tanah dan atau bangunan. Khusus untuk Koperasi dan UKM yang memperoleh/menerima penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang penyewanya tidak ditunjuk sebagai pemotong (misalnya penyewanya orang pribadi), maka Koperasi dan UKM wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut.
Penghasilan yang diterima Koperasi dan UKM yang merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut, termasuk penghasilan dari bunga tabungan/deposito/diskonto SBI, penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan atau dilaporkan perdagangannya di Bursa Efek, penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek yang PPh-nya dipotong oleh pihak pemberi penghasilan, wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh dari Koperasi dan UKM tersebut.
Tarif PPh Pasal 4 ayat (2) adalah :
• 0% untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp240.000 per bulan dan 10% dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari Rp240.000 perbulan;
• 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan dan bersifat final;
• 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang bersifat final;
• 25% dari jumlah bruto hadiah undian (nilai uang atau nilai pasar apabila hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk natura);
• 2% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak Penyedia jasa pelaksana konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha kecil, dan bersifat final;
• 3% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak Penyedia jasa pelaksana konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha menengah, dan bersifat final;
• 4% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak Penyedia jasa pelaksana konstruksi yang tidak memiliki kualifikasi usaha baik kecil, menengah maupun besar, dan bersifat final;
• 4% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan konstruksi dan jasa pengawasan konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha dan bersifat final;
• 6% dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan konstruksi dan jasa pengawasan konstruksi yang tidak memiliki kualifikasi usaha dan bersifat final;
• 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham dan bersifat final;
• 15% dari jumlah bruto bunga obligasi, diskonto obligasi dengan kupon dan diskonto tanpa bunga obligasi bagi wajib Pajak dalam negeri.
Contoh Perhitungan PPh Pasal 4 ayat 2 atas penerimaan bunga
Pak Sentot anggota Koperasi Rakyat Sejahtera No.anggota 45 pada bulan Oktober 2009 memperoleh bunga dari Siharkop ( Simpanan Hari Koperasi ) sebesar Rp.230.000,00.
Perhitungan PPh Pasal 4 ayat 2 adalah sebagai berikut :
Pendapatan bunga simpanan kena pajak adalah Nihil
Contoh Perhitungan PPh Pasal 4 ayat 2 atas penjualan saham
Koperasi Rakyat Sejahtera menjual 1000 lembar saham PT Bumi Raksa Tbk dengan harga kurs @ Rp.12.500,- hasil penjualan adalah :
lembar x Rp. 12.500 = Rp. 12.500.000
PPh atas penjualan saham 0,1% x Rp. 12.500.000 = Rp. 12.500
Contoh Perhitungan PPh Pasal 4 ayat 2 atas hadiah undian
Koperasi Rakyat Sejahtera memberikan hadiah undian kepada Budiman no.anggota 17 sebesar Rp10.000.000,-
PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang dan harus dipotong oleh Koperasi adalah sebesar : Rp. 10.000.000 x 25% = Rp. 2.500.000
Contoh Perhitungan PPh Pasal 4 ayat 2 atas pembayaran jasa kontruksi
CV Kalkulus (UKM) membayar jasa pelaksanaan konstruksi untuk membangun gedung kantor kepada PT A (memiliki kualifikasi usaha kecil) sebesar Rp. 500.000.000
PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang dan harus dipotong oleh UKM CV Kalkulus sebesar : Rp. 500.000.000 x 2% = Rp. 10.000.000
Contoh Perhitungan PPh Pasal 4 ayat 2 atas pendapatan jasa
Koperasi Rakyat Sejahtera menyewakan ruangan kepada kepada Pak Purwa dengan nilai sewa sebesar Rp. 15.000.000 setahun.
PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang dan harus disetor sendiri oleh Koperasi Rakyat Sejahtera : Rp. 15.000.000 x 10% = Rp. 1.500.000
Contoh Perhitungan PPh Pasal 4 ayat 2 atas penerimaan bunga oblligasi
Koperasi Rakyat Sejahtera pada tanggal 1 Mei 2009 menerima bunga
Obligasi PT Artha Boga sebesar Rp. 450.000,00 .PPh atas bunga Obligasi
Adalah 15% x Rp. 450.000,00 = Rp. 67.500 bersifat final i
PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 adalah pajak atas penghasilan yang tertentu yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk dipungut Pajak Penghasilannya. Misalnya Koperasi atau UKM sebagai industri dan eksportir yang ditunjuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk memotong PPh Pasal 22 atas penghasilan penjualan hasil pertanian, perkebunan dan perhutanan, perikanan dari pedagang pengumpul. Koperasi dan UKM juga dapat ditunjuk sebagai pemungut oleh KPP apabila bergerak sebagai industri tertentu ataupun sebagai penjual produk tertentu misalnya bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas. Objek pemungutan PPh Pasal 22 lainnya yang berhubungan dengan Koperasi dan UKM namun pemungutannya berada pada pihak lain adalah :
• Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor yang bergerak dibidang sektor pertanian, perkebunan dan perhutanan, perikanan dari pedagang pengumpul ditetapkan sebesar 0,25% dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
• Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang. Tarifnya :
yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;
yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang;
Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor.
• Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah yang melakukan pembayaran, atas pembelian barang. Tarifnya sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN dan tidak final;
• BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), tarifnya sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN dan tidak final;
• Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun dari non APBN, tarifnya sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN dan tidak final;
• Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri. Tarifnya :
Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
• Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas. Tarifnya :
Jenis Bahan
Bakar SPBU Swastanisasi
(% dari penjualan) SPBU Pertamina
(% dari penjualan)
Premium 0,3 0,25
Solar 0,3 0,25
Premix/SuperTT 0,3 0,25
Minyak Tanah - 0,3
Gas LPG - 0,3
Pelumas - 0,3
Catatan:
o Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen, bersifat tidak final.
o Jika penerima penghasilan yang akan dipungut PPh-nya tidak memiliki NPWP, maka tarif pemungutannya menjadi 100% lebih tinggi dari tarif normal.
Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
• Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB).
• Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.
• Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
• Pembayaran atas pembelian barang yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
• Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos.
• Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
• Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
• Impor kembali (re-impor) yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
• Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.
Apabila Koperasi dan UKM menerima penghasilan dan dipungut PPh Pasal 22 oleh pemungut lainnya, maka pemungutan PPh Pasal 22 tersebut dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh apabila sifat pemotongannya tidak final.
Contoh cara perhitungan
Koperasi X ditunjuk KPP karena sebagai industri yang bergerak dibidang sektor pertanian, perkebunan dan perhutanan, perikanan sebagai pemungut PPh Pasal 22, dan membayar kepada pedagang pengumpul sebesar Rp. 10.000.000
PPh Pasal 22 yang terutang dan harus dipungut oleh Koperasi X dari pedagang pengumpul sebesar:
Rp. 10.000.000 x 0,25% = Rp. 25.000
3). PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 adalah pajak atas penghasilan dari modal dan dari jasa tertentu. Apabila koperasi dan UKM melakukan pembayaran kepada pihak lain yang jenis penghasilan masuk katagori Objek PPh Pasal 23, maka wajib dilakukan pemotongan, menyetorkan hasil pemotongan ke Bank Persepsi dan kantor Pos serta melaporakannya ke KPP atau KP2KP tempat Koperasi dan UKM terdaftar. Adapun objek dan tarif PPh Pasal 23 adalah sebagai berikut :
No Jenis Penghasilan Tarif
1 Dividen, bunga, royalti, hadiah 15%
2 Sewa dan penghasilan lain sehubungan penggunaan harta kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan pengggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) 2%
3 Imbalan jasa selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang PPh
- Jasa penilai
- Jasa aktuaris
- Jasa akuntansi
- Jasa pernacang
- Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang migas
- Jasa penunjang migas
- Jasa penambangan dan jasa penun- jang penambangan selain migas
- Jasa penunjang penerbangan dan bandara
- Jasa penebangan hutan termasuk land clearing
- Jasa pengolahan/pembuangan limbah
- Jasa maklon
- Jasa rekruitmen/penyediaan tenaga kerja
- Jasa perantara
- Jasa perdagangan surat berharga kecuali oleh BEJ, BES, KSEI, dan KPEI
- Jasa kustodian/penyimpanan/ penitipan kecuali oleh KSEI
- Jasa telekomunikasi yg bukan untuk umum
- Jasa pengisian sulih suara atau mixing film
- Jasa software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan & perbaikan 2%
Perawatan/pemeliharaan/perbaikan mesin,listrik / telepon / air / gas / AC / TV kabel
Perawatan/pemeliharaan/perbaikan peralatan
Perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan 2%
- Jasa maklon, jasa penyelidikan dan keamanan, jasa penyelenggaraan kegiatan/event organizer, jasa pengepakan.
- jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi
- Jasa pembasmian hama & jasa pembersihan
- Jasa catering 2%
2%
2%
2%
Untuk Yang tidak ber_NPWP dipotong 100% lebih tinggi atau menjadi 4%.
Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 23
• Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
• Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
• Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
bagi perseroan terbatas , BUMN/D, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% ( dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.
• Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
• SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
• Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.
Contoh 1 cara Perhitungan PPh Pasal 23
Koperasi X membayar jasa perawatan kendaraan kepada bengkel Z sebesar Rp. 10.000.000
PPh Pasal 23 yang terutang dan harus dipotong oleh Koperasi X:
Rp. 10.000.000 x 2% = Rp. 200.000
Contoh 2 cara Perhitungan PPh Pasal 23
UKM (PT ZERO) membayar jasa konsultan manajemen kepada PT X sebesar Rp10.000.000,-
PPh Pasal 23 yang terutang dan harus dipotong oleh Koperasi X:
Rp. 10.000.000 x 2% = Rp. 200.000
Contoh 3 cara Perhitungan Pasal 23
Koperasi X membayar jasa akutansi kepada PT X sebesar Rp10.000.000,-
PPh Pasal 23 yang terutang dan harus dipotong oleh Koperasi X:
Rp. 10.000.000 x 2% = Rp. 200.000
4). PPh Pasal 26
PPh Pasal 26 adalah pajak atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajal luar negeri selain Bentuk Usaha tetap. Apabila Koperasi atau UKM yang berbentuk badan usaha membayar penghasilan kepada Wajib Pajak luar negeri, maka wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 26.
Contoh cara Perhitungan
UKM (PT Z) membayar jasa konsultan kepada Mr X (Wajib Pajak Luar Negeri) sebesar Rp. 10.000.000
PPh Pasal 26 yang terutang dan harus dipotong oleh Koperasi X:
Rp. 100.000.000 x 20% = Rp. 20.000.000
Dalam hal melaksanakan kewajiban pemotongan/pemungutan yang diperlukan Koperasi dan UKM yang berbadan usaha adalah kewajiban melaporkan pemotongan/pemungutan ke KPP atau KP2KP. Khusus untuk Pemotongan PPh Pasal 21, Koperasi dan UKM wajib melaporkan setiap bulannya ke KPP atau KP2KP berupa laporan SPT Masa PPh Pasal 21. Sedangan untuk pemotongan/pemungutan lainnya seperti PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26, hanya wajib dilaporkan ke KPP atau KP2KP apabila terjadi pemotongan pada suatu bulan/masa.
Apabila pada suatu bulan/masa tidak terjadi pemotongan/pemungutan, maka tidak perlu dilaporkan ke KPP atau KP2KP.
c. Menyetorkan dan Melaporkan Pajak Penghasilan dari Pemotongan yang dilakukan atas PPh badan koperasi dan UKM maupun Pajak Lainnya
Koperasi atau UKM berbentuk badan wajib membuat laporan keuangan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan terutang. Dalam menghitung PPh terutang, Koperasi dan UKM perlu memperhatikan 2 (dua) aspek yaitu :
1. Penghasilan yang merupakan objek PPh dan yang bukan objek PPh yang diterima/ diperoleh Koperasi atau UKM;
a) Penghasilan yang merupakan objek PPh
Penghasilan menurut UU PPh Pasal 4 ayat (1) adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Pajak Penghasilan;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
• keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
• keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota;
• keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha;
• keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
• keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f. bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi ;
h. royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
s. surplus Bank Indonesia.
2. Penghasilan yang bukan merupakan objek PPh menurut Pasal 4 ayat (3) UU PPh adalah :
a. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia;
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
c. Warisan;
d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa;
g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
• dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
• bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
h. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan , baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
i. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
• merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
• sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
l. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut;
n. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
3. Biaya-biaya yang diperkenankan untuk mengurangi penghasilan bruto.
Biaya-biaya yang diperkenankan untuk mengurangi penghasilan bruto dalam menentukan penghasilan kena pajak adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk :
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
• biaya pembelian bahan;
• biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
• bunga, sewa, dan royalti;
• biaya perjalanan;
• biaya pengolahan limbah;
• premi asuransi;
• biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
• biaya administrasi; dan
• pajak kecuali Pajak Penghasilan.
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih,dan memelihara penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
• telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
• Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
• telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
• syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Biaya-biaya yang tidak diperkenankan untuk mengurangi penghasilan bruto dalam menentukan penghasilan kena pajak adalah :
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali :
• cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
• cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
• cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
• cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
• cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
• cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan di bidang perpajakan.
Koperasi atau UKM wajib mengetahui 2 bagian utama untuk menghitung PPh terutang. Cara penghitung PPh badan adalah :
• Menghitung Penghasilan Kena Pajak Setahun
Peredaran usaha Rp. AAAA
Biaya-biaya Operasional (Rp. BBBB)
Penghasilan Netto Rp. CCCC
Koreksi Fiskal (positif/negatif) (Rp. DDDD)
Penghasilan Kena Pajak Rp. XXXX
Menghitung Pajak Terhutang berdasarkan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan adalah Penghasilan Kena Pajak (Rp XXXX) dikalikan dengan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b yaitu 28%.
Contoh :
Penghasilan Kena Pajak Rp. 200.000.000 maka perhitungan pajak terhutangnya : Rp. 200.000.000 x 28% = Rp. 56.000.000
Berdasarkan Pasal 31 E UU PPh, Koperasi atau UKM ini sebagai Wajib Pajak badan yang peredaran brutonya sampai Rp. 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah) maka mendapat fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum untuk Wajib Pajak badan atau menjadi 14% yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Contoh 1 :
Koperasi X tahun 2009 peredaran brutonya Rp. 2.500.000.000 (lima miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp. 200.000.000.
maka perhitungan pajak terhutangnya : Rp. 200.000.000 x (28% x 50%) = Rp. 28.000.000
Contoh 2 :
UKM (PT.X) tahun 2009 peredaran brutonya Rp30.000.000.000 (tiga puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000. (tiga miliar rupiah),
maka perhitungan pajak terhutangnya :
1. Jumlah Penghasilan kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas :
(Rp. 4.800.000.000 : Rp. 30.000.000.000) x Rp. 3.000.000.000 = Rp. 480.000.000
2. Jumlah Penghasilan kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas :
Rp. 3.000.000.000 – Rp. 480.000.000 = Rp. 2.520.000.000
PPh yang terutang :
- (50% x 28%) x Rp. 480.000.000 = Rp. 67.200.000
- 28% x Rp. 2.520.000.000 = Rp. 705.600.000 +
Jumlah PPh yang terutang = Rp. 772.800.000
Koperasi dan UKM selain membayar PPh nya, juga membayar pajak pusat lainnya yaitu :
a. Bea Materai : apabila Koperasi dan UKM memanfaatkan dokumen tertentu misalnya bukti pembayaran, surat-surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata, akta-akta notaris termasuk salinannya, akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya, surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah), efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah), wajib melunasi Bea Materainya;
b. Pajak Bumi dan Bangunan : apabila Koperasi dan UKM memiliki tanah dan/atau Bangunan, wajib membayar PBB;
c. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) : apabila Koperasi dan UKM memperoleh hak baru atas tanah dan atau bangunan (misalnya membeli tanah dan/atau bangunan), wajib membayar BPHTB.
d. Melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Jika Koperasi melakukan penyerahan Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak dengan peredaran brutonya (omzet) setahun melebihi Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), maka koperasi memiliki kewajiban melakukan pemungutan PPN sebesar 10%, serta menyetorkan dan melaporkan PPN yang terhutang setiap bulan.
Pada prinsipnya seluruh Barang dan Jasa merupakan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak kecuali atas barang-barang dan jasa-jasa yang dikecualikan sebagai berikut :
Kelompok Barang yang Tidak dikenakan PPN
• barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, yaitu :
minyak mentah (crude oil), gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batubara sebelum diproses menjadi briket batubara dan bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak serta bijih bauksit
• barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, yaitu :
beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
• makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, tidak termasuk, makanan dan minuman yang diserahkan oleh jasa boga atau catering
• uang, emas batangan, dan surat-surat berharga
Kelompok Jasa yang tidak dikenakan PPN
• Pelayanan kesehatan medik, meliputi :
Jasa dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan;
Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan fisioterapi;
Jasa kebidanan dan dukun bayi;
Jasa paramedis dan perawat dan jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanotarium
• Pelayanan sosial, meliputi :
Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
Jasa pemadam kebakaran kecuali yang bersifat komersial;
Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
Jasa lembaga rehabilitasi kecuali yang bersifat komersial;
Jasa pemakaman termasuk krematorium;
Dan jasa dibidang olahraga kecuali yang bersifat komersial pengiriman surat dengan perangko
• Perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan surat kontrak (perjanjian), serta anjak piutang;
• Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi; dan
• Jasa sewa guna usaha (sgu) dengan hak opsi
• Keagamaan, meliputi :
Jasa pelayanan di rumah ibadah;
Jasa pemberian khotbah atau dakwah
Mekanisme perhitungan PPN adalah sebagai berikut :
Pajak Keluaran Rp. XXXX
(10% kali nilai DPP atas penjualan)
Pajak Masukan Rp. YYYY (-/-)
(10% kali nilai DPP atas pembelian)
PPN yang kurang (lebih) bayar Rp. ZZZZ
Perhitungan tersebut dilaporkan dalam SPT Masa PPN setiap bulan dengan menggunakan formulir 1107 atau menggunakan E-SPT DJP yaitu program SPT Masa PPN yang dibagikan secara gratis oleh DJP.
3.2. Kewajiban Perpajakan Bagi UKM yang Berbentuk Perseorangan
Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
UKM ada yang berbentuk perseorangan atau orang pribadi. Apabila orang pribadi tersebut telah memenuhi persyarat subjektif yaitu subjek pajak orang pribadi dan persyarat objektif yaitu menerima atau memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) disebut sebagai Wajib Pajak. Sebagai wajib pajak tentunya memiliki kewajiban perpajakannya sebagaimana diatur dalam UU Perpajakan.
Secara umum kewajiban perpajakan bagi Koperasi dan UKM adalah :
a. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dan atau PKP
UKM yang berbentuk perseorangan setelah memenuhi persyaratan subjektif dan persyaratan objektif wajib mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Syarat-syarat pendaftaran untuk mendapatkan NPWP bagi UKM berbentuk perseorangan hanya KTP (Kartu Tanda Penduduk).
UKM perseorangan yang sampai dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai pengusaha kecil (600 Juta), wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir masa pajak berikutnya. Dengan pengukuhan sebagai PKP maka UKM perseorangan terikat pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai, antara lain memungut PPN dari setiap Barang Kena Pajak dan atau Jasa kena Pajak yang diserahkan oleh UKM perseorangan serta menyetor dan melaporkannya setiap bulan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat UKM perseorangan tersebut terdaftar.
b. Menyetorkan dan Melaporkan Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Pajak lainnya
UKM perseorangan yang menyelenggarakan pembukuan, wajib membuat laporan keuangan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Sedangkan UKM perseorangan yang tidak menyelenggarakan pembukuan tetapi hanya penyelenggarakan pencatatan, maka dalam menghitung PPh yang terutang cukup berdasarkan peredaran bruto (omzet) yang dicatat tersebut.
UKM perseorangan yang menyelenggarakan pembukuan, dalam menghitung besarnya PPh terutang sama prinsipnya dengan Koperasi atau UKM yang berbadan usaha yaitu memperhatikan penghasilan, dan biaya-biaya lainnya. UKM perseorangan yang menyelenggarakan pencatatan, cara penghitungan besarnya PPh :
Penghasilan netto (Penghasilan bruto setahun x norma*) Rp AAA
Pengurangnya:
PTKP (sesuai keadaan orang pribadi tersebut) (Rp BBB)
Penghasilan Kena Pajak Rp CCC
Sedangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah sebagai berikut;
PTKP BARU
Mulai 1-1-2009
SETAHUN
(Rp) SEBULAN
(Rp)
UNTUK DIRI PEGAWAI (TK/-) 15.840.000,- 1.320.000,-
UNTUK DIRI PEGAWAI YG KAWIN/NIKAH (K/0) 15.840.000,-
1.320.000,- 1.430.000,-
UNTUK PEGAWAI YG KAWIN & MEMILIKI 1 TANGGUNGAN* (K/1) 15.840.000,-
1.320.000,-
(1) 1.320.000,- 1.540.000,-
UNTUK PEGAWAI YG KAWIN & MEMILIKI 2 TANGGUNGAN* (K/2) 15.840.000,-
1.320.000,-
(2) 1.320.000,- 1.650.000,-
UNTUK PEGAWAI YG KAWIN & MEMILIKI 3 TANGGUNGAN* (K/3) 15.840.000,-
1.320.000,-
(3) 1.320.000,- 1.760.000,-
• Tanggungan adalah anggota keluarga sedarah dan semenda dalam satu garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya maksimal 3 (tiga) orang.
Menghitung Pajak Terhutang berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan adalah Penghasilan Kena Pajak (Rp CCC) dikalikan dengan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a yaitu :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif
s.d. Rp 50.000.000,- 5%
Di atas Rp 50.000.000,- s.d. Rp 250.000.000 15%
Di atas Rp 250.000.000,- s.d. Rp 500.000.000,- 25%
Di atas Rp 500.000.000,- 30%
Contoh :
Penghasilan Kena Pajak Rp. 200.000.000,00, maka perhitungan pajak terhutangnya : Rp. 50.000.000 x 5% = Rp. 2.500.000
Rp. 150.000.000 x 15% = Rp.22.500.000
Jadi PPh terutang Rp.2.500.000 + Rp.22.500.000 = Rp.25.000.000
UKM perseorang wajib menyetor PPh Pasal 25 (angsuran PPh) setiap bulannya dan melaporkannya ke KPP atau KP2KP tempat UKM perseorangan tersebut terdaftar. Dasar angsuran PPh Pasal 25 adalah 1/12 dari PPh yang terhutang tahun sebelumnya, misalnya PPh terutang UKM perseorangan tahun 2008 sebesar Rp. 2.400.000, maka angsuran PPh Pasal 25 nya adalah 1/12 x Rp. 2.400.000 = Rp. 200.000,-
Selain wajib mengangsur PPh (PPh Pasal 25), UKM perseorangan juga wajib menyetor PPh Pasal 4 ayat (2) yaitu penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila UKM menerima penghasilan tersebut. Demikian juga dengan penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diterima UKM perseorangan (penyewa bukan pemotong), wajib disetor sendiri.
UKM perseorangan, selain membayar PPh nya, juga membayar pajak pusat lainnya yaitu :
• Bea Materai : apabila UKM perseorangan memanfaatkan dokumen tertentu misalnya bukti pembayaran, surat-surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata, akta-akta notaris termasuk salinannya, akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya, surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah), efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah), maka wajib melunasi Bea Materai.
• Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) : apabila UKM perseorangan memiliki dan memanfaatkan tanah dan/atau Bangunan, maka wajib membayar PBB;
• Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) : apabila UKM perseorangan memperoleh hak baru atas tanah dan atau bangunan (misalnya membeli tanah dan/atau bangunan), maka wajib bayar BPHTB.
c. Melakukan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, menyetor dan melaporkannya (jika ditunjuk sebagai Pengusaha Kena Pajak)
Jika UKM perseorangan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak dengan peredaran brutonya (omzet) setahun melebihi Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), maka koperasi memiliki kewajiban melakukan pemungutan PPN sebesar 10%, serta menyetorkan dan melaporkan PPN yang terhutang setiap bulan. Ketentuan pemungutan PPN untuk UKM perseorangan sama dengan pemungutan PPN untuk Koperasi dan UKM yang berbentuk badan usaha.
3.3. Kewajiban perpajakan Lainnya
Koperasi dan UKM selain memiliki kewajiban perpajakan yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, juga memiliki kewajiban perpajakan lainnya yaitu :
a. Kewajiban dalam hal diperiksa
Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa adalah :
1. memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor;
2. memperlihatkan dan / atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. Khusus untuk Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib memberikan kesempatan untuk mengakses dan / atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
3. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan;
4. menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
5. Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor;
6. memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan.
b. Kewajiban memberi data
Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksana kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assesssment, data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan / atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan / atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain diluar Direktorat Jenderal Pajak.
Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan untuk setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain (kewajiban memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan) dipidana dengan kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
3.4. Batas Waktu Pembayaran/Penyetoran, Pelaporan dan Sanksi Perpajakan
Koperasi dan UKM baik yang berbentuk badan usaha maupun perseorangan wajib melaksanakan kewajiban perpajakannya yang antara lain menyetor PPh sendiri maupun PPh hasil pemotongan serta melaporkannya.
Berikut batas waktu penyetoran, pelaporan untuk objek PPh dan PPN/PPnBM, bea Materai, PBB dan BPHTB :
No Jenis SPT Batas Waktu Pembayaran Batas Waktu Pelaporan
Masa
1 PPh Pasal 4 ayat (2) Tgl. 10 bulan berikut Tgl. 20 bulan berikut
2 PPh Pasal 15 Tgl. 10 bulan berikut Tgl. 20 bulan berikut
3 PPh Pasal 21/26 Tgl. 10 bulan berikut Tgl. 20 bulan berikut
4 PPh Pasal 23/26 Tgl. 10 bulan berikut Tgl. 20 bulan berikut
5 PPh Pasal 25
(angsuran pajak) untuk Wajib Pajak orang pribadi dan badan Tgl. 15 bulan berikut Tgl. 20 bulan berikut
6 PPh Pasal 25
(angsuran pajak) untuk Wajib Pajak kriteria tertentu yang diperbolehkan melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu SPT Masa Akhir masa pajak terakhir tgl. 20 setelah
berakhirnya Masa Pajak
terakhir
7 PPh Pasal 22, PPN & PPn BM oleh Bea Cukai 1 hari setelah dipungut Hari kerja terakhir minggu berikutnya (melapor secara mingguan)
8 PPh Pasal 22 - Bendahara Pemerintah Pada hari yang sama saat
penyerahan barang Tgl. 14bulan berikut
9 PPh Pasal 22 – Pertamina Sebelum Delivery Order dibayar
10 PPh Pasal 22 - Pemungut Tertentu Tgl. 10 bulan berikut Tgl. 20 bulan berikut
11 PPN dan PPn BM – PKP Tgl. 15 bulan berikut Tgl. 20 bulan berikut
12 PPN dan PPn BM - Bendaharawan Tgl. 7 bulan berikut Tgl. 14 bulan berikut
13 PPN & PPn BM - Pemungut Non Bendahara Tgl. 15 bulan berikut Tgl. 20 bulan berikut
14 PPh Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, 21, 23, PPN dan PPnBM Untuk Wajib Pajak Kriteria tertentu Sesuai batas waktu per SPT Masa tgl. 20 setelah
berakhirnya Masa Pajak
terakhir
Tahunan
1 PPh - Badan, Orang Pribadi Sebelum SPT tahunan disampaikan akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak
2 PBB 6 (enam) bulan sejak
tanggal diterimanya SPPT ---
3 BPHTB Dilunasi pada saat
terjadinya perolehan hak
atas tanah dan bangunan ---
Koperasi dan UKM yang lalai melaksanakan kewajiban perpajakan maka dikenai sanksi perpajakan. Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan Wajib Pajak (WP), sepanjang menyangkut pelanggaran ketentuan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana dibidang perpajakan dikenakan sanksi pidana.
Sanksi Administrasi :
1. Pajak Penghasilan (PPh):
a) Denda, sebesar:
• Rp. 100.000 (seratus ribu Rupiah) apabila Surat Pemberitahuan (SPT) Masa tidak disampaikan sesuai dengan batas waktu yaitu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah bulan takwim berakhir khusus untuk pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atau paling lambat dua puluh hari setelah akhir Masa Pajak khusus untuk pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23;
• Rp. 100.000 (seratus ribu Rupiah) apabila SPT Tahunan orang pribadi tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu yaitu paling lambat tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak.
• Rp. 1.000.000 (satu juta Rupiah) apabila SPT Tahunan badan tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu yaitu paling lambat empat bulan setelah akhir Tahun Pajak.
• 150% (seratus lima puluh per seratus) dari jumlah pajak yang kurang dibayar, dalam hal telah dilakukan tindakan pemeriksaan tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak dan terhadap ketidabenaran tersebut tidak dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauannya sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
b) Bunga, sebesar:
• 2% (dua per seratus) sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan atas jumlah pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar dalam hal:
PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar dan/atau dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung.
terdapat kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain serta pemberian NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan;
penghitungan sementara pajak yang terutang kurang dari jumlah pembayaran pajak yang sebenarnya terutang akibat diberikan ijin penundaan penyampaian SPT Tahunan.
• 2% (dua per seratus) sebulan dari pajak yang kurang dibayar dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
• 48% (empat puluh delapan per seratus) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu lima tahun dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
• 2% (dua per seratus) sebulan dihitung sejak saat penyampaian SPT Tahunan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan, apabila Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar ;
• 2% (dua per seratus) sebulan dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan, apabila Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar;
• 2% (dua per seratus) sebulan dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan, apabila pembayaran atau penyetoran yang terutang untuk suatu saat atau masa dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran atau penyetoran.
c) Kenaikan, sebesar:
• 50% (lima puluh per seratus) dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak akibat SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
• 100% (seratus per seratus) dari jumlah PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetorkan,
• 100% (seratus per seratus) dari jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap dari WP yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
• Sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus per seratus) dari pajak yang kurang dibayar, dikenakan terhadap Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTatau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat merugikan Negara.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
a) Denda, sebesar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah) dalam hal SPT Masa tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yaitu selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir;
b) Bunga, sebesar 2% (dua per seratus) sebulan dari pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam hal terdapat kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKB berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain;
c) 100% (seratus per seratus) dari PPN barang dan Jasa dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar akibat SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran atau apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasi selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol per seratus).
Sanksi Pidana :
1. Karena alpa:
a) tidak menyampaikan SPT; atau
b) menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun dan denda setinggi-tingginya dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
2. Dengan sengaja:
a) tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP ; atau
b) tidak menyampaikan SPT; atau
c) menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau
d) menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29; atau
e) memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau
f) tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau
g) tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut,
h) sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun dan denda setinggi- tingginya empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Sanksi pidana lainnya adalah :
• dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun, dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam Faktur Pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak, dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam Faktur Pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak, terhadap Wajib Pajak dengan sengaja menerbitkan, atau menggunakan, atau menerbitkan dan menggunakan, Faktur Pajak dan atau bukti pemungutan pajak dan atau bukti pemotongan pajak dan atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya
• dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun, atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) bagi setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak
• dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan, atau denda paling banyak Rp. 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah) bagi setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain dalam memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak
• dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan, atau denda paling banyak Rp. 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah) bagi setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak yang berkaitan dengan perpajakan sehubungan dengan terjadinya suatu peristiwa yang diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dengan memperhatikan ketentuan tentang kerahasiaan atas data dan informasi dimaksud.
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban membayar pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan penagihan pajak. Penagihan Pajak dilakukan apabila Wajib Pajak tidak membayar pajak terutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam STP, SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, maka DJP dapat melakukan tindakan penagihan. Proses penagihan dimulai dengan Surat Teguran dan dilanjutkan dengan Surat Paksa. Dalam hal WP tetap tidak membayar tagihan pajaknya maka dapat dilakukan penyitaan dan pelelangan atau harta WP yang disita tersebut untuk melunasi pajak yang tidak / belum dibayar.
Adapun jangka waktu proses penagihan sebagai berikut :
1. Surat Teguran diterbitkan apabila dalam jangka 7 (tujuh) hari dari jatuh tempo pembayaran Wajib Pajak tidak membayar utang pajaknya.
2. Surat Paksa diterbitkan dalam jangka 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran apabila Wajib Pajak tetap belum melunasi utang pajaknya.
3. Sita dilakukan dalam jangka waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa disampaikan.
4. Lelang dilakukan paling 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Sedangkan DJP dapat melakukan pencegahan dan penyanderaan terhadap Wajib Pajak / penanggung pajak yang tidak kooperatif dalam membayar hutang pajaknya.
BAB IV
HAK WAJIB PAJAK KOPERASI DAN UKM
Dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan di bidang perpajakan yaitu antara keseimbangan hak negara dan hak warga Negara pembayar pajak, maka Undng-Undang Perpajakan yaitu Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengakomodir mengenai hak Wajib Pajak sebagai berikut :
Hak Atas Kelebihan Pembayaran Pajak
Dalam hal pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
Untuk Wajib Pajak masuk kriteria Wajib Pajak Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diterima. Perlu diketahui pengembalian ini dilakukan tanpa pemeriksaan.
Wajib Pajak dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui 2 (dua) cara :
1. melalui Surat Pemberitahuan (SPT),
2. dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Apabila Direktorat Jenderal Pajak terlambat mengembalikan kelebihan pembayaran yang semestinya dilakukan, maka Wajib Pajak berhak menerima bunga 2% (dua per seratus) per bulan maksimum 24 (dua puluh empat) bulan.
Hak Dalam Hal Wajib Pajak Dilakukan Pemeriksaan
Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dengan tujuan menguji kepatuhan Wajib Pajak dan tujuan lain yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam hal dilakukan pemeriksaan, Wajib Pajak berhak :
1. Meminta Surat Pemeriksaan
2. Melihat Tanda Pengenal Pemeriksa
3. Mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan
4. Meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT
5. Untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
Berdasarkan ruang lingkupnya jenis-jenis pemeriksaan sebagaimana disebutkan di atas dapat dibedakan menjadi pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor. Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi 6 (enam) bulan yang dihiutng sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
Hak Untuk mengajukan Keberatan, Banding dan Peninjuan Kembali
Bedasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak, yang dapat mengakbatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atu nihil. Jika Wajib Pajaktidak sependapat maka dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan tersebut. Selanjutnya apabila belumpuas dengan keputusan keberatan tersebut maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding. Langkah terakhir yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dalam sengketa pajak adalah peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Penetapan pajak dapat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Jenis-jenis ketetapan yang dikeluarkan adalah : Surat Ketetapan Pajak Lebih Besar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Disamping itu dapat diterbitkan pula Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal dikenakannya sanksi administrasi dapat berupa denda, bunga, dan kenaikan.
1. Keberatan
Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak dengan mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 3 bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya, dan atau atas keberatan tersebut Direktur Jenderal Pajak akan memberikan keputusan paling lama dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat keberatan diterima.
Syarat pengajuan keberatan adalah :
• Mengajukan surat keberatan kepada Direktur enderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Setempat atas SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN, dan Pemotongan dan pemungutan oleh pihak ketiga.
• Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan menyebutkan alasan-alasan yang jelas.
• Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak surat ketetapan pajak, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena di luar kekuasaannya.
• Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
• Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahsan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
Perlu diketahui bahwa apabila permohonan keberatan Wajib Pajak ditolak dan Wajib Pajak tidak mengajukan banding maka Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
2. Banding
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas keberatan yang diajukannya, maka Wajib Pajak masih dapat mengajukan banding ke Badan Peradilan Pajak. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dilampiri surat Keputusan Keberatan tersebut. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding. Pengadilan Pajak harus menetapkan putusan paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima.
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkansebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
3. Peninjauan Kembali (PK)
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan Banding, maka Wajib Pajak masih memiliki hak mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui pengadilan Pajak.
Pengajuan permohonan PK diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap atau ditemukannnya bukti tertulis baru atau sejak putusan banding dikirim.
Mahkamah Agung mengambil keputusan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan PK diterima.
Hak-Hak Wajib Pajak Lainnya
1. Hak Mendapatkan Pelayanan Perpajakan Gratis (tanpa dipungut biaya)
Wajib Pajak Koperasi dan UKM berhak mendapatkan pelayanan perpajakan tanpa dipungut biaya seperserpun (gratis). Misalnya pelayanan pembuatan NPWP, Pengukuhan PKP, Restitusi, Permintaan Surat Keterangan Bebas PPh dan PPN, Pengurangan PBB dan pelayanan perpajakan lainnya.
2. Hak Kerahasiaan Bagi Wajib Pajak
Wajib pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas segala sesuatu informasi yang telah disampaikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Disamping itu pihak lain yang melakukan tugas dibidang perpajakan juga dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak, termasuk tenaga ahli seperti ahli bahasa, akuntan, pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan.
Kerahasiaan Wajib Pajak antara lain :
• Surat Pemeberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen lainnya yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
• Data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
• Dokumen atau rahasia Wajib Pajak lainnya.
Namun demikian dalam rangka penyidikan, penuturan atau dalam rangka kerjasama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukri tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
3. Hak Untuk Penundaan Pembayaran
Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan menunda pembayaran pajak.
4. Hak Untuk Pengangsuran Pembayaran
Dalam hal-hal atau kondisi tertentu Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan mengangsur pembayaran pajak.
5. Hak Untuk Penundaan Pelaporan SPT Tahunan
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat menyampaikan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan baik PPh Badan maupun PPh Pasal 21.
6. Hak Untuk Pengurangan PPh Pasal 25
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.
7. Hak Untuk Pengurangan PBB
Wajib Pajak Orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannnya dengan subjek pajak atau karena sebab-sebab tertentu lainnya serta dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam dan juga bagi Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan, dapat mengajukan permohonan pengurangan atas pajak terutang.
8. Hak Untuk Pembebasan Pajak
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan atas pemotongan / pemungutan pajak penghasilan.
9. Hak Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagai Wajib Pajak Patuh dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat 1 bulan untuk PPN dan 3 bulan untuk PPh sejak tanggal permohonan.
10. Hak Untuk Mendapatkan Insentif Perpajakan
Wajib Pajak Koperasi dan UKM berhak mendapatkan insentif atau fasilitas perpajakan yang diatur dalam ketentuan perpajakan. Misalnya PPh yang ditanggung oleh pemerintah, PPN yang ditanggung oleh Pemerintah, PPN yang dibebaskan.
BAB V
PERLAKUAN KHUSUS DAN INSENTIF PERPAJAKAN
BAGI KOPERASI DAN UKM
5.1. Perlakuan Khusus Perpajakan Untuk Koperasi dan UKM
UU Perpajakan khususnya UU PPh yang terakhir dirubah (UU No.36 tahun 2008 tentang perubahan Keempat UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan) banyak memberikan perlakukan khusus untuk Wajib Pajak Koperasi dan UKM. Perlakukan khusus tersebut adalah :
• Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi yang besarnya tidak melebihi dari Rp. 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan tidak dikenakan tarif PPh atau 0% (nol persen) dan bersifat final;
• Sedangkan penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi yang besarnya melebihi dari Rp. 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan dikenakan tarif PPh sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final;
• Sisa Hasil Usaha (SHU) yang dibagikan koperasi kepada para anggotanya tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23.
• Bagi Koperasi dan UKM yang berbentuk badan usaha, tarif PPh badan menjadi tarif tunggal yaitu 28% dan apabila memenuhi syarat (peredaran bruto setahun tidak melebih Rp50.000.000.000) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari 28% atau menjadi 14% yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,-;
• Bagi UKM berbentuk perseorangan tarif PPh Orang pribadi diturunkan, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagai pengurang dalam menghitung besarnya PPh terutang dinaikkan (lihat halaman 38).
5.2. Insentif Pajak Bagi Koperasi dan UKM
Dalam UU Perpajakan terdapat beberapa ketentuan yang dapat dimanfaatkan Koperasi dan UKM untuk mengembangkan kegiatan usahanya.
Insentif PPh
• Harta hibahan yang diterima oleh koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil (Pasal 4 ayat (3) huruf a.2 UU PPh jo. Peraturan Menteri keuangan Nomor : 245/PMK.03/2008) bukan merupakan objek Pajak Penghasilan. Dengan demikian, apabila Koperasi dan UKM yang memenuhi syarat menerima harta hibahan tidak dikenakan PPh;
• Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh koperasi dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat, deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan (Pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh) bukan merupakan objek PPh. Dengan demikian, apabila Koperasi dan UKM yang berbentuk badan usaha menanamkan modal pada badan usaha lainnya di Indonesia dan menerima dividen dari badan usaha tersebut, maka atas dividen yang diterima tidak dikenakan PPh
• Beasiswa yang memenuhi syarat (diberikan kepada WNI untuk mengikuti pendidikan di dalam negeri dati tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi dan tidak memiliki hubungan istimewa dewngan pengurus) dapat dibiayakan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak atau dengan kata lain biaya beasiswa dapat mengurangi PPh terutang Koperasi dan UKM yang menyelenggarakan pembukuan (Pasal 6 ayat (1) huruf g);
• Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia, biaya pembangunan insfrastruktur sosial dan sumbangan fasilitas pendidikan, dapat dibiayakan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (Pasal 6 ayat (1) hurf i, j, k dan l UU PPh). Dengan kata lain sumbangan-sumbangan yang diatur dalam UU PPh dapat mengurangi PPh terutang Koperasi dan UKM yang menyelenggarakan pembukuan.
Insentif PPN
• Koperasi dan UKM melakukan kegiatan usaha Import dan penyerahan di dalam negeri berupa daging, telur, susu, sayuran dan buah-buahan berdasarkan perubahan dalam Undang-undang No. 42 Tahun 2009 Pasal 4A.Koperasi dan UKM yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak melakukan kegiatan menyerahkan minyak goreng sawit curah dan minyak goreng kemasan sederhana dengan Merek MINYAKKITA, PPN-nya ditanggung oleh Pemerintah;secara lengkap penambahan Barang / Jasa yang bukan merupakan objek pajak terdiri :
a. Barang Kena Pajak yang dialihkan dalam rangka merger.
b. Aktiva yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha
Berupa sedan dan station wagon.
c. Daging , telur, susu, sayur-sayuran dan buah-buahan.
d. Barang hasil tambang golongan C yang telah dikenakan Pajak
Daerah.
e. Jasa keuangan.
f. Jasa-jasa tertentu.
• Koperasi dan UKM melakukan kegiatan usaha (melakukan penyerahan barang dagangan atau jasa) di Batam, Bintan dan Karimun di bebaskan dari pengenaan PPN termasuk apabila melakukan import barang dari luar daerah tersebut, juga dibebaskan dari PPN, PPh Pasal 22 import dan cukai (Peraturan pemerintah Nomor 2 tahun 2009);
BAB VI
PENUTUP
Koperasi dan UKM sejak memperoleh status badan hukum, sudah memenuhi syarat subketif dan obyektif sebagai wajib pajak oleh karena itu sejak adanya pengesahan badan hukum baik koperasi dan UKM yang bersangkutan harus segera mendaftrakan diri pada kantor pelayanan pajak setempat (KPP) untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Demikian juga Koperasi dan UKM yang bergerak dibidang penjualan dan jasa apabila telah memenuhu persyaratan sesuai dengan Undang-Undang PPN, sebaiknya juga segera mendaftarkan diri di KPP setempat untuk memperoleh Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP)
NPWP merupakan identitas sebagai wajib pajak, dengan memiliki NPWP Koperasi dan UKM mempunyai kewajiban Perpajakan yaitu : menghitung sendiri pajak terhutang, menyetor sendiri pajak ditempat yang telah ditentukan, kemudian melaporkan sendiri melalui media surat pemberitahuan (SPT), jumlah pajak yang dibayar terlebih dahulu dan jumlah pajak yang harus dibayar atau lebih bayar sesuai dengan azas self assessment.
Download
Baru Dibaca
Kamis, 12 Mei 2011
PERPAJAKAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jika memang sahabat Nakaku mau copy artikel dan tidak untuk disalah gunakan ikuti langkah berikut :
1. Buka tools
2. option
3. content
4. hilangkan tanda centang enable javascript
5. Selesai
Ini juga berlaku buat blog2 lain yang gak bisa di copy paste koq .
1. Buka tools
2. option
3. content
4. hilangkan tanda centang enable javascript
5. Selesai
Ini juga berlaku buat blog2 lain yang gak bisa di copy paste koq .
1 komentar:
komplit . . .
Posting Komentar