Cerita Dari Mantan Mafia
Seorang mantan boss (mafia) Italia mengingat kenangan ketika ia masih kanak-kanak. Ayahnya, yang juga boss mafia, saat itu menyuruhnya memanjat sebuah tembok yang cukup tinggi. Tanpa berpikir panjang, si anak segera memanjatnya. Sesampainya di atas, si ayah segera menyuruhnya melompat turun. Tentu saja dia bingung. "Kenapa sudah susah-susah naik lalu disuruh melompat lagi", mungkin begitu pikir si anak.
Seorang mantan boss (mafia) Italia mengingat kenangan ketika ia masih kanak-kanak. Ayahnya, yang juga boss mafia, saat itu menyuruhnya memanjat sebuah tembok yang cukup tinggi. Tanpa berpikir panjang, si anak segera memanjatnya. Sesampainya di atas, si ayah segera menyuruhnya melompat turun. Tentu saja dia bingung. "Kenapa sudah susah-susah naik lalu disuruh melompat lagi", mungkin begitu pikir si anak.
Tetapi si
ayah tetap bersikeras menyuruhnya melompat. "Turunlah, anakku,
dengan cara melompat", teriak sang ayah. "Ayo lakukan perintah
ayah". Si anak tentu saja bingung, takut, dan sepertinya ia tidak percaya.
"Ayah akan menangkap tubuhmu dari bawah", janji si ayah ke anaknya.
"Nggak usah takut, ayah akan menyelamatkanmu." Akhirnya, anak
itu teryakinkan oleh janji ayahnya. Dan beberapa saat kemudian, dengan posisi
terjun payung, si anak melompat ke arah ayahnya yang sudah siap pada posisi
menangkap.
Tetapi,
ketika si anak melompat, anehnya, si ayah secepat kilat menghindar. Tentu saja
tidak ada kesempatan bagi si anak untuk memperbaiki posisinya. Hidungnya
mencium tanah, patah, dan berdarah. Tangannya terkilir dan memar. Napasnya
berhenti sejenak. Untung tulang rusuknya tidak patah. Setelah sadar, dengan
napas tersengal dia segera bangun dan memprotes bapaknya. "Bapak sengaja
mau mencelakakan saya ya?" Dengan wajah tanpa dosa, si ayah menjawab:
"Kamu harus belajar untuk tidak percaya sama orang,
sekalipun pada ayahmu sendiri!"
sekalipun pada ayahmu sendiri!"
Cerita di
atas bisa Anda dapatkan di bukunya Francis Fukuyama (Trust, 1995). Dari
informasi yang ia dapatkan, ternyata cerita di atas bukan fiksi,
melainkan fakta yang pernah benar-benar terjadi. Kalau ditangkap pakai
perasaan, memang itu praktek yang benar-benar kejam. Tega-teganya si ayah yang
mestinya bertugas melindungi dan menyayangi anak, ternyata malah membohongi dan
mencelakakannya.
Tapi,
rupanya si ayah tidak mau pakai perasaan seperti itu. Kali ini si ayah ingin
menggunakan logikanya. Si ayah ingin anaknya tahu realitas. Si ayah ingin
mendidik anaknya. Pendidikan itu mahal, katanya. Dari pengalamannya sebagai
boss mafia, memang realitas itu ya seperti itu. Terkadang harus belajar untuk
tidak mudah percaya. Bahkan kalau pun harus percaya, janganlah kau berikan
kepercayaan itu sepenuhnya.
Dipikir-pikir,
bukan hanya dunia mafia yang penuh trik dan intrik seperti itu. Bukan hanya
untuk calon boss mafia yang harus belajar bagaimana mempercayai orang dan
belajar bagaimana untuk tidak mempercayai orang. Kehidupan normal seperti yang
kita alami pun kerap diwarnai praktek-praktek yang mengharuskan kita untuk
belajar kapan mempercayai orang lain dan kapan tidak.
Apesnya,
untuk mengetahui "kapan" itu memang tidak mudah karena tidak ada
bukunya. Sebab itu, banyak orang yang maunya jump to conclusion. Begitu
dia dibohongi orang sekali, saat itu juga kesimpulannya adalah: "Saya
tidak akan percaya lagi sama orang." Menurut teori Logika, keputusan yang jump
to conclusion itu lebih sering salahnya.
“Percaya pada diri sendiri akan menumbuhkan
keberanian,
percaya pada orang lain akan menarik dukungan.â€
percaya pada orang lain akan menarik dukungan.â€
Menjaga Stadium
Dua hal ekstrim yang sering dilakukan orang itu adalah: terlalu mudah percaya atau terlalu sulit percaya. Hal-hal yang serba terlalu itu biasanya "penyakit" atau sesuatu yang perlu kita perbaiki dari diri kita. Lebih-lebih kalau kita sudah bersumpah untuk tidak percaya sama orang atau bersumpah untuk selalu percaya sama orang. Menurut realitas kehidupan, dua hal ini termasuk yang tidak logis. Kenapa? Kalau kita tidak percaya sama orang, lantas kepada siapa kita akan percaya? Begitu juga kalau kita selalu percaya. Bukankah di dunia ini ada orang yang memang tidak bisa dipercaya?
Dua hal ekstrim yang sering dilakukan orang itu adalah: terlalu mudah percaya atau terlalu sulit percaya. Hal-hal yang serba terlalu itu biasanya "penyakit" atau sesuatu yang perlu kita perbaiki dari diri kita. Lebih-lebih kalau kita sudah bersumpah untuk tidak percaya sama orang atau bersumpah untuk selalu percaya sama orang. Menurut realitas kehidupan, dua hal ini termasuk yang tidak logis. Kenapa? Kalau kita tidak percaya sama orang, lantas kepada siapa kita akan percaya? Begitu juga kalau kita selalu percaya. Bukankah di dunia ini ada orang yang memang tidak bisa dipercaya?
Jika
dikaitkan dengan penjelasan yang sudah-sudah, terlalu mudah percaya itu
merupakan satu dari sekian gejala inferioritas (minder). Merujuk ke catatannya
Gilmer (1975), di antara ciri khas orang yang minder itu adalah punya respon
positif terhadap bujukan atau iming-iming yang tidak rasional. Ada orang-orang
tertentu yang lebih enak untuk dibohongi dengan yang wah-wah ketimbang
dijelaskan yang sebenarnya (secara rasional). Bahkan dalam praktek rekrutmen
PNS atau lowongan kerja ke luar negeri, tidak sedikit yang mau membayar
berjuta-juta karena iming-iming yang tidak ada dasarnya atau fiktif.
Nah, itu
adalah contoh dari sekian contoh yang bisa kita jumpai dalam praktek hidup.
Banyak orang yang sepertinya telah memberikan kebaikan kepada orang lain, namun
dasarnya bukan ingin menjadi orang baik dan memberikan kebaikan,
melainkan karena kelemahan. Suami-istri yang "menikmati kedzaliman"
pasangannya tanpa alasan-alasan yang positif juga termasuk di sini.
Jika terlalu
mudah percaya yang terkait dengan inferioritas, terlalu tidak percaya juga
terkait dengan inferioritas. Lebih tepatnya adalah feeling lack of
(something) atau feeling fear of (something). Ini masuk akal juga.
Kenapa? Biasanya, kita itu menilai orang lain sama seperti kita menilai diri
sendiri. Kalau kita menilai diri kurang atau terancam, maka kita akan cenderung
menilai orang lain sebagai sumber ancaman dan kekurangan. Karena itu kita tidak
mudah percaya. Seorang kawan berseloroh sambil mengatakan, inilah jawaban
kenapa orang kita itu tanda tangannya masya-Allah ruwetnya.
Ada yang
mengaitkannya dengan arogansi. Arogansi adalah perasaan lebih unggul dari orang
lain dan itu kita terapkan dengan cara merendahkan orang lain (ucapan, sikap,
dan tindakan). Karena kita menilai orang lain itu tidak sehebat kita atau tidak
se-soleh kita, makanya kita tidak mudah percaya. Arogansi pun sumbernya adalah
keminderan, ketakutan atau kekurangan. Karena kita takut jika dianggap tidak
hebat atau tidak suci, maka efeknya adalah menutupi ketakutan itu dengan
arogansi.
Ada lagi
yang mengaitkannya dengan kepribadian perfeksionis. Kajian teoritisnya membagi perfection
ini menjadi dua. Ada yang bagus dan ada yang jelek (penyakit). Yang bagus
adalah possible perfection. Artinya, kita mengusahakan sesuatu sampai ke
standar yang paling tinggi atau seoptimal mungkin. Misalnya saja Anda diberi
tugas oleh kantor namun Anda tidak mau menyerahkannya sebelum Anda benar-benar
mengusahakannya seoptimal mungkin. Anda tidak biasa bekerja asal-asalan. Ini
bagus.
Nah, yang
jelek adalah impossible perfection. Bentuknya adalah, kita menginginkan segalanya
ada dan terjadi sesempurna yang kita bayangkan atau menurut ukuran kita, tetapi
dasarnya adalah rasa takut, rasa kurang, atau pengingkaran pada realitas. Jika possible
perfection itu lebih pada proses mengusahakan sesuatu, tetapi impossible
perfection lebih pada mendapatkan hasil. Impossible perfection
inilah yang terkait dengan munculnya distrust.
Seperti yang
sudah kita bahas sebelum-sebelumnya, semua orang itu sebetulnya punya yang
namanya feeling lack of (something) atau feeling fear of
(something). Entah itu karena fakta atau karena persepsi. Yang menjadi
tugas kita adalah mengontrol stadiumnya. Merasa kurang, misalnya, jika
stadiumnya sehat atau normal, akan memunculkan rendah hati. Jika stadiumnya
kurang, yang muncul adalah minder atau terlalu mudah percaya. Jika berlebihan,
yang muncul adalah rakus, arogan, atau tidak mudah percaya.
â€Bagi
orang yang pasif, ketakutan itu sering menjadi sumber kekerdilan.
Bagi orang yang agresif, ketakutan itu bisa melahirkan kebrutalan.â€
Bagi orang yang agresif, ketakutan itu bisa melahirkan kebrutalan.â€
Melatih Diri
Di bawah ini ada beberapa proses yang bisa kita tempuh sebagai latihan untuk mempercayai orang lain:
Pertama, fair-kan pemahaman hidup. Bagaimana cara mem-fair-kannya? Caranya adalah hilangkan pemahaman yang menggeneralisasi. Misalnya, Anda berpikir tidak ada manusia yang bisa dipercaya atau sebaliknya. Kenapa ini dikatakan tidak fair? Dalam prakteknya, ada orang yang bisa dipercaya tetapi ada juga yang tidak. Jadi kuncinya adalah orang atau si anu, bukan semua manusia. Bahkan, kita pun terkadang butuh untuk mempercayai orang tetapi terkadang tidak butuh. Ini tergantung keadaan dan kebutuhan.
Di bawah ini ada beberapa proses yang bisa kita tempuh sebagai latihan untuk mempercayai orang lain:
Pertama, fair-kan pemahaman hidup. Bagaimana cara mem-fair-kannya? Caranya adalah hilangkan pemahaman yang menggeneralisasi. Misalnya, Anda berpikir tidak ada manusia yang bisa dipercaya atau sebaliknya. Kenapa ini dikatakan tidak fair? Dalam prakteknya, ada orang yang bisa dipercaya tetapi ada juga yang tidak. Jadi kuncinya adalah orang atau si anu, bukan semua manusia. Bahkan, kita pun terkadang butuh untuk mempercayai orang tetapi terkadang tidak butuh. Ini tergantung keadaan dan kebutuhan.
Kedua, spesifik. Kalau kita memberikan pekerjaan kepada
sahabat karib karena alasan kepercayaan, padahal sebetulnya belum mampu,
dipastikan hasilnya kurang kredibel. Sebaliknya, kalau kita berikan kepada
orang yang mampu, tetapi kita tidak tahu komitmennya, hasilnya juga kurang
kredibel. Artinya, hampir tidak ada orang yang bisa dipercaya untuk semua hal.
Semuanya perlu diperjelas konteks-nya. Karena itu ada pesan: "Jika kita
menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, tunggu saja kegagalannya."
Ahli di sini bisa ahli karena skill-nya atau karena moralitasnya.
Ketiga, dalil yang mengikat. Ini kita butuhkan untuk hal-hal
yang penting pada saat kita kurang mengetahui siapa dia. Dalil yang mengikat
ini bentuknya banyak: ada yang fisik dan ada yang non-fisik. Misalnya saja
kontrak resmi, perjanjian, lembaga atau organisasi yang menjadi payungnya,
dokumen, lingkungannya, keluarganya, pandangan hidupnya, dan lain-lain. Kalau
kita menyerahkan duit ke bank, tidak perlu tahu orangnya secara pribadi karena
patokannya adalah lembaga.
Keempat, berani berkorban lebih dulu namun jangan jadi
korban. Maksudnya, kita harus berani mempercayai orang lain dulu sebelum orang
lain mempercayai kita. Artinya, butuh jiwa besar juga untuk mempercayai orang
itu. Tetapi jangan sampai itu malah fatal. Supaya tidak fatal, ada yang
menyarankan, jangan memberikan kepercayaan seratus persen kepada siapapun.
Maksimalnya 80 %. Atau juga tetap pakai pertimbangan yang masak. Di tayangan
tivi yang saya lihat bulan kemarin ternyata banyak mahasiswi yang menjadi
korban janji-janji palsu temannya. Ini karena terlalu percaya tanpa
perhitungan.
Kelima, aktualisasikan diri melalui berbagai peranan yang
bisa Anda lakukan. Kenapa ini penting? Tujuannya antara lain: menghilangkan
keminderan, kesombongan dan menambah kematangan. Kalau Anda mahasiswa,
usahakan jangan hanya tahu buku, komputer, dosen, dan kampus. Bergaul juga di
luar itu. Kalau Anda pekerja, usahakan jangan hanya tahu kantor dan rumah.
Masuk juga ke lingkungan lain yang agak berbeda. Minimalnya, kita perlu
mengenal lingkungan lain. Tapi proporsinya jangan sampai berlebihan.
Itulah
beberapa hal yang bisa kita tempuh dalam proses belajar mempercayai orang lain
dengan kesadaran. Yang tak kalah pentingnya untuk kita ingat adalah: tidak ada trust
untuk kesepakatan yang dibangun di atas kejahatan. Ini berlaku internasional.
Kesepakatan yang jahat itu hanya "kelihatannya" saja kokoh, tetapi
bukti-buktinya tidak. Semoga bermanfaat.
â€Memberikan
tanggung jawab dan menaruh kepercayaan
adalah bantuan yang sangat bernilai bagi orang lain.â€
(Booker T. Washington)
adalah bantuan yang sangat bernilai bagi orang lain.â€
(Booker T. Washington)
Oleh : Ubaydillah, AN