menu

Welcome...Pasang Status Facebook Sahabat Disini

Kamis, 06 Oktober 2011

SEJARAH BANK INDONESIA : PERBANKAN Periode 1983-1997

1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Perbankan Periode
1983 - 1997
Perekonomian Indonesia masih mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan
kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada
sektor keuangan dan perekonomian. Bank Indonesia tetap berdasarkan Undang-
Undang (UU) No. 13/1968 tentang bank sentral dan beberapa pasal dalam UU No.
14/1967 tentang perbankan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya terjadi
perubahan fundamental karena segala kebijakan yang dilaksanakan Bank Indonesia
(BI) dilakukan berdasarkan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan
pemerintah. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah
upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh.
Kondisi perekonomian pada akhir periode 1982/1983 kurang menguntungkan, baik
karena faktor eksternal maupun internal. Kemampuan pemerintah untuk menopang
dana pembangunan semakin berkurang, untuk itu dilakukan perubahan strategi
untuk mendorong peranan swasta agar lebih besar.
Dampak dari over-regulated terhadap perbankan adalah kondisi stagnan dan
hilangnya inisiatif perbankan. Hal tersebut mendorong BI melakukan deregulasi
perbankan untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat,
dunia usaha, dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut. Pada 1983, tahap awal
deregulasi perbankan dimulai dengan penghapusan pagu kredit, bank bebas
menetapkan suku bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta menghentikan
pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada semua bank kecuali untuk
jenis kredit tertentu yang berkaitan dengan pengembangan koperasi dan ekspor.
Tahap awal deregulasi tersebut berhasil menumbuhkan iklim persaingan antar bank.
Banyak bank, terutama bank swasta, mulai bangkit untuk mengambil inisiatif dalam
menentukan arah perkembangan usahanya. Seiring dengan itu, BI memperkuat
sistem pengawasan bank yang di antaranya melalui penyusunan dan pemeliharaan
blacklist yang diberi nama resmi Daftar Orang-Orang yang Melakukan Perbuatan
Tercela (DOT) di bidang perbankan. Mereka yang masuk dalam daftar ini tidak boleh
lagi berkecimpung dalam dunia perbankan.
Pada tahun 1988, pemerintah bersama
BI melangkah lebih lanjut dalam
deregulasi perbankan dengan
mengeluarkan Paket Kebijakan
Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88)
yang menjadi titik balik dari berbagai
kebijakan penertiban perbankan
1971–1972. Pemberian izin usaha
bank baru yang telah dihentikan sejak
tahun 1971 dibuka kembali oleh Pakto
88. Demikian pula dengan ijin
pembukaan kantor cabang atau
pendirian BPR menjadi lebih
dipermudah dengan persyaratan
modal ringan. Suatu kemudahan yang sebelumnya belum pernah dirasakan oleh
dunia perbankan. Salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah perijinan
untuk bank devisa yang hanya mensyaratkan tingkat kesehatan dan aset bank telah
mencapai minimal Rp 100 juta. Namun demikian, Pakto 88 juga mempunyai efek
samping dalam bentuk penyalahgunaan kebebasan dan kemudahan oleh para

pengurus bank. Bersamaan dengan kebijakan Pakto 88, BI secara intensif memulai
pengembangan bank-bank sekunder seperti bank pasar, bank desa, dan badan
kredit desa. Kemudian bank karya desa diubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat
(BPR). Tujuan pengembangan BPR tersebut adalah untuk memperluas jangkauan
bantuan pembiayaan untuk mendorong peningkatan ekonomi, terutama di daerah
pedesaan, di samping untuk modernisasi sistem keuangan pedesaan.
Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang
berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada
1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu,
terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR. UU
Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian
pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan
tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan
pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman
pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada
Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.
Pada periode 1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu
meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan
berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan
suatu program khusus untuk menangani kredit macet dan membentuk Forum
Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa Agung,
Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang
Negara. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam
melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991
yang membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi. Maka, dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang
melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam Pakfeb
1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami booming economy
dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya tarik bagi
investor asing. Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit
perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat
memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter. Kredit perbankan
dalam jumlah besar mengalir deras ke berbagai sektor usaha, terutama properti,
meski BI telah berusaha membatasi. Keadan ekonomi mulai memanas dan inflasi
meningkat.
Setelah berjalan lama, Pakto 88 mulai menampakkan dampak negatifnya.
Kebebasan perbankan terutama dalam bank devisa, yang menghambat terciptanya
sistem perbankan yang sehat. BI, sejak 1995, mulai memperberat syarat ketentuan
untuk menjadi bank devisa, meski langkah tersebut belum bisa menahan laju
pertumbuhan perbankan. Pada 1996, sebagai upaya untuk menekan ekspansi kredit
perbankan yang dianggap sebagai pemicu memanasnya mesin perekonomian,
diterapkan kembali kebijakan moral suasion dengan cara menghimbau bank untuk
menekan laju ekspansi kreditnya. Mulai 1997, walaupun ekpansi kredit perbankan
mulai dapat ditahan, namun perkembangan usaha perbankan menjadi lebih sulit
dikendalikan. Untuk itu, BI telah berencana untuk melikuidasi tujuh bank yang
ternyata belum mendapat restu dari pemerintah.
2. Arah Kebijakan 1983-1997
Menurunnya harga minyak dan gas pada tahun 1980-an merupakan ancaman serius
bagi kelangsungan perekonomian Indonesia yang selama ini masih tergantung pada
subsidi Pemerintah, begitu pula perbankan Indonesia.
Menurunnya harga minyak dan gas pada tahun 1980-an merupakan ancaman serius
bagi kelangsungan perekonomian Indonesia yang selama ini masih tergantung pada
subsidi Pemerintah, begitu pula perbankan Indonesia. Sumber dana perbankan yang
mayoritas masih berasal dari KLBI dan kredit perbankan yang mayoritas masih
berupa kredit program, ikut terancam oleh menurunnya harga migas. Hingga akhir
Maret 1983 79,11% ekspor Indonesia adalah migas dan 64,16% pendapatan negara
berasal dari pajak migas. Artinya, struktur perekonomian Indonesia masih sangat
tergantung pada migas, suatu kondisi yang rentan terhadap kemungkinan terjadinya
penurunan harga ekspor migas di masa yang akan datang.
Semakin beratnya beban keuangan pemerintah untuk menopang kelangsungan
ekonomi, memberikan inspirasi untuk mengoptimalkan peran swasta dalam
pembiayaan pembangunan. Untuk itu, sektor perbankan terus dipacu agar
mengoptimalkan fungsi intermediasinya. Suku bunga perbankan yang tadinya
ditetapkan oleh Pemerintah kemudian dibiarkan terbentuk melalui mekanisme pasar.
Ekspansi kredit perbankan yang tadinya dibatasi oleh Pemerintah kemudian
dibebaskan. Giro Wajib Minimum bank-bank pada Bank Indonesia yang tadinya
ditetapkan 15% kemudian diturunkan menjadi 2%. Berbagai perubahan aturan
(deregulasi) tersebut ditetapkan dalam Paket kebijakan Juni 1983 (Pakjun 1983).
Untuk mengantisipasi kemungkinan membanjirnya dana masyarakat pada perbankan
maka dibuka peluang menanamkan dananya pada Bank Indonesia dengan cara
membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Selanjutnya untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya mismatch antara sumber dan penggunaan dana perbankan
dalam era persaingan bebas tersebut maka kepada perbankan diberi peluang
mencari pinjaman melalui Pasar Uang Antarbank dengan cara menjual Surat
Berharga Pasar Uang (SBPU).
Iklim persaingan bebas ini sejalan dengan proses globalisasi pasar yang sedang
berlangsung dan tidak mungkin dapat dihindari oleh negara manapun yang
menerapkan kebijakan perekonomian terbuka, termasuk Indonesia. Dalam era pasar
global tersebut segala bentuk subsidi dan proteksi tidak diperbolehkan. Berkaitan
dengan itu maka kebijakan nilai tukar Rupiah diubah dari mengambang terkendali
secara ketat menjadi mengambang terkendali secara fleksibel sejak tahun 1986.
Kondisi ini menuntut pula perluasan dimensi pengawasan bank, khususnya tentang
penerapan prinsip-prinsip kehati-hatian berdasarkan standard internasional.
Liberalisasi perbankan berikutnya adalah pemberian kemudahan perluasan jaringan
kantor melalui Paket Oktober 1988. Upaya deregulasi tersebut berhasil menumbuhkembangkan
perbankan secara fantastis bahkan sempat mengalami pertumbuhan
yang mengkhawatirkan tatkala terjadi over-heated ekonomi. Kala itu, pinjaman luar
negeri yang mengalir melalui sektor perbankan dan lembaga keuangan non-bank
cenderung terus meningkat untuk membiayai sektor ekonomi yang bersifat

konsumtif. Paket Februari 1991 kemudian diluncurkan untuk meningkatkan prinsip
kehati-hatian pengelolaan bank. Dengan paket itu, persyaratan kecukupan modal,
kualitas aktiva produktif, produktivitas & efisiensi usaha, likuiditas dan pengelolaan
bank secara keseluruhan diperketat. Demikian pula pemberian kredit kepada pihak
terkait dengan bank maupun debitur grup serta posisi devisa neto juga dibatasi
dengan ketat.
Melalui Pakfeb pula masing-masing bank diwajibkan sadar risiko. Untuk itu masingmasing
bank diharuskan menerapkan prinsip-prinsip self regulatory dan self
assessment.
Patut dicatat bahwa ternyata perkembangan yang demikian pesat tidak hanya terjadi
di perbankan melainkan juga di lembaga keuangan non-bank. Dalam
perkembangannya diketahui bahwa ternyata kedua jenis lembaga ini acapkali
memberikan kredit kepada debitur yang sama dengan persyaratan yang sama pula.

3. Langkah-Langkah Strategis 1983-1997
Memasuki periode ini, perbankan sebagai bagian dari sistem keuangan harus
menyesuaikan usahanya dengan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang
ekonomi yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Memasuki periode ini, perbankan sebagai bagian dari sistem keuangan harus
menyesuaikan usahanya dengan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang
ekonomi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Paket deregulasi pertama ditetapkan
pada 1 Juni 1983 yang dikenal dengan Pakjun 1983. Dengan dikeluarkannya
kebijakan tersebut, bank-bank memperoleh kebebasan dalam menentukan besarnya
kredit yang diberikan sesuai dengan dana masyarakat yang dapat dihimpun. Di
samping itu, kepada bank-bank pemerintah diberi kebebasan menentukan sendiri
tingkat suku bunga baik suku bunga dana maupun kredit. Kebijakan tersebut
bertujuan agar perbankan sebanyak mungkin membiayai pemberian kreditnya
dengan dana simpanan masyarakat dan mengurangi ketergantungan bank-bank
pada KLBI.
Pakjun 1983 belum mengatur perubahan kebijakan kelembagaan dan dorongan
perbankan untuk menciptakan produk-produk jasa perbankan baru maupun
meningkatkan efisiensi dalam operasi bank. Dalam rangka lebih meningkatkan
kemampuan perbankan untuk menghimpun dana masyarakat dan memberikan
kredit, perluasan jaringan bank diperlukan. Perluasan jaringan bank tersebut bukan
sekadar untuk memperluas wilayah monetisasi kegiatan ekonomi, tetapi juga untuk
memperluas jasa perbankan. Upaya untuk mendorong timbulnya produk-produk
baru diperlukan dalam penghimpunan dana dari masyarakat. Di samping itu,
persaingan yang sehat di antara bank-bank juga diperlukan sebagai salah satu unsur
pendorong peningkatan efisiensi. Untuk tujuan tersebut, pada 27 Oktober 1988
Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober 1988 yang dikenal sebagai Pakto
1988. Dengan kebijakan yang terangkum dalam Pakto 1988, kebijakan deregulasi
perbankan berkembang menjadi deregulasi yang sangat luas karena di dalamnya
termasuk juga aspek kelembagaan. Pemerintah membuka kembali perizinan
pendirian bank swasta nasional baru dengan modal disetor minimum sebesar Rp10
milyar dan bank perkreditan rakyat (BPR) dengan modal disetor minimum sebesar
Rp50 juta. Perizinan tersebut sebelumnya telah dibekukan masing-masing sejak
1971 dan 1973. Demikian pula persyaratan untuk ditunjuk sebagai bank devisa serta
pembukaan kantor cabang dan kantor cabang pembantu yang sebelumnya dikaitkan
dengan merger dalam ketentuan ini tidak diberlakukan lagi.
Sebagai bagian dari rangkaian kebijakan deregulasi, dan untuk memberikan
landasan hukum yang lebih kuat atas prinsip-prinsip deregulasi yang terkandung
dalam paket-paket kebijakan yang telah dikeluarkan sejak tahun 1983, Undangundang
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ditetapkan pada tanggal 25 Maret
1992. Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali
struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian, peningkatan
perlindungan dana masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan
memenuhi persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme
para pelakunya. Dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan
hukum bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip

bagi hasil (syariah), serta sanksi-sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan
pelanggaran ketentuan perbankan.
Sebagai rangkaian kebijakan deregulasi dengan mengantisipasi perkembangan
sebagaimana diuraikan di atas, pada 17 Desember 1990 Bank Indonesia
menetapkan Pola Dasar Pengawasan dan Pembinaan Bank yang dimaksudkan untuk
menyesuaikan pola pengawasan dan pembinaan bank agar tetap diarahkan untuk
meningkatkan kedewasaan dan kemandirian dalam pola pikir dan sikap yang
bertanggungjawab dalam mengamankan kepentingan masyarakat serta menunjang
pembangunan ekonomi. Pola dasar pengawasan dan pembinaan bank harus
dikembangkan sebagai konsep yang terintegrasi dengan dunia perbankan dan pihakpihak
lain yang terkait.
Untuk meningkatkan praktek kehati-hatian bagi perbankan, Bank Indonesia
mengeluarkan Paket Kebijakan tanggal 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991) tentang
Penyempurnaan Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang memulai penerapan
rambu-rambu kehati-hatian yang mengacu pada standar perbankan internasional
yang antara lain meliputi ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif.
Bertalian dengan ketentuan pasal 54 Undang-undang Perbankan 1992 yang
menetapkan bahwa bank pemerintah harus menyesuaikan bentuk hukum lembaga
selambat-lambatnya setahun sejak dikeluarkannya undang-undang tersebut, Bank
Indonesia membantu bank-bank yang bersangkutan termasuk pemegang saham
yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan untuk melakukan persiapanpersiapan
yang diperlukan dalam rangka mewujudkan penyesuaian yang diwajibkan.
Sebelum berakhirnya batas waktu, ketujuh bank pemerintah telah dapat melakukan
penyesuaian sehingga untuk selanjutnya nama resmi yang digunakan oleh bankbank
tersebut adalah:
(i) Bank Negara Indonesia (Persero)
(ii) Bank Bumi Daya (Persero)
(iii) Bank Rakyat Indonesia (Persero)
(iv) Bank Dagang Negara (Persero)
(v) Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero)
(vi) Bank Pembangunan Indonesia (Persero) dan
(vii) Bank Tabungan Negara (Persero).
Dengan telah ditempatkannya semua bank pemerintah sebagai bank umum yang
kedudukannya sama dengan bank-bank umum lainnya, serta yang berlandaskan
hanya pada satu undang-undang, kebijakan Bank Indonesia yang khusus ditujukan
kepada bank pemerintah pada masa yang lalu, sejak saat itu ditiadakan. Perlakuan
Bank Indonesia terhadap bank pemerintah baik dalam pemberlakuan ketentuan
perbankan maupun dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan bank disamakan
dengan perlakuan terhadap bank-bank umum lainnya.
Terkait dengan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah) pada
tanggal 30 Oktober 1992 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992
tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan
bahwa bank yang memilih kegiatan usahanya berdasarkan prinsip bagi hasil tidak
boleh melakukan kegiatan sebagai bank konvensional, demikian pula sebaliknya.
Kegiatan operasional bank berdasarkan prinsip bagi hasil baik dalam penghimpunan
dan penanaman dana maupun dalam pemberian jasa perbankan lainnya serta dalam

hal risiko usaha pada dasarnya sama dengan bank konvensional. Yang membedakan
adalah bahwa imbalan semua transaksi perbankan tidak didasarkan pada sistem
bunga melainkan atas dasar prinsip jual beli sebagaimana digariskan dalam syariat
(hukum) Islam.

4. Otoritas pengawasan 1983-1997
Di bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1992 Bank
Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-
Pokok Perbankan.
Di bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1992 Bank
Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-
Pokok Perbankan. Tugas tersebut tetap melekat bahkan dipertegas dalam Undangundang
Perbankan baru, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1992. Dalam Bab I pasal
29 sampai dengan 37 Undang-undang No. 7 Tahun 1992, peran Bank Indonesia
mencakup fungsi regulasi, pengawasan, pemeriksaan dan pembinaan, serta
penerapan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan bank. Selain dalam pasal-pasal
tersebut, terdapat pula kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur dan
mengawasi hal-hal yang dilakukan bank seperti dalam pasal 7 tentang kegiatan
dalam valuta asing, penyertaan modal, serta bertindak sebagai pendiri dan
pengurusan dana pensiun. Perbedaan fundamental dalam pelaksanaan tugas Bank
Indonesia berdasarkan kedua undang-undang tersebut adalah dari segi pendekatan
dan pola pelaksanaan dengan menerapkan kebijakan deregulasi.
Khusus untuk bank-bank pemerintah dan bank pembangunan daerah
pengawasannya juga dilakukan oleh BPK/BPKP. Sedangkan bank-bank yang sudah
go public pengawasannya dilakukan oleh Bank Indonesia dan Bapepam.

5. Sasaran Strategis 1983-1997
Sejalan dengan kebijakan Pemerintah, untuk melakukan deregulasi dan
debirokratisasi dan dengan memperhatikan kondisi perbankan pada awal tahun 80-
an, Bank Indonesia dalam periode ini mengambil berbagai inisiatif untuk menunjang
kebijakan dasar tersebut.
Sejalan dengan kebijakan Pemerintah, untuk melakukan deregulasi dan
debirokratisasi dan dengan memperhatikan kondisi perbankan pada awal tahun 80-
an, Bank Indonesia dalam periode ini mengambil berbagai inisiatif untuk menunjang
kebijakan dasar tersebut. Inisiatif-inisiatif yang diambil oleh Bank Indonesia untuk
menunjang pembangunan ekonomi dalam era deregulasi dapat dikelompokkan
menjadi lima aspek sebagai berikut.
− Meningkatkan peran perbankan dalam pembangunan ekonomi.
− Menciptakan alat-alat moneter berdasarkan mekanisme pasar dan
menjaga
− kestabilan moneter dengan menggunakan alat yang diciptakan-nya.
− Melakukan pengendalian devisa dan mendorong ekspor nonmigas.
− Menunjang pengembangan pasar modal.
− Menunjang pengembangan usaha kecil dan koperasi.
Dalam pelaksanaannya, inisiatif-inisiatif tersebut dituangkan dalam berbagai paket
kebijakan yang dikeluarkan secara bertahap. Pengawasan dan pembinaan bank pada
periode ini dilakukan dalam rangka mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan
efisien dalam arti dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik,
berkembang secara wajar, dan bermanfaat bagi perkembangan ekonomi Indonesia.
Anda sedang membaca artikel tentang SEJARAH BANK INDONESIA : PERBANKAN Periode 1983-1997 dengan URL http://nakaku.blogspot.com/2011/10/sejarah-bank-indonesia-perbankan.html, nakaku mengizinkan Anda untuk menyebar luaskannya atau copy-paste artikel SEJARAH BANK INDONESIA : PERBANKAN Periode 1983-1997 ini jika memang bermanfaat bagi anda dan orang lain, karena slogan nakaku "Menabur Ketulusan Menuai Kebahagiaan" namun jangan lupa untuk meletakkan link SEJARAH BANK INDONESIA : PERBANKAN Periode 1983-1997 sebagai sumbernya.

0 komentar:

Berikan Komentar Sahabat Nakaku
Langganan Artikel Nakaku

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Jika memang sahabat Nakaku mau copy artikel dan tidak untuk disalah gunakan ikuti langkah berikut :
1. Buka tools
2. option
3. content
4. hilangkan tanda centang enable javascript
5. Selesai

Ini juga berlaku buat blog2 lain yang gak bisa di copy paste koq .
Nakaku Update Ini Milik Fredian Maechosa/object>
|SELAMAT DATANG DI NAKAKU MEDIA|TEMPATNYA DOWNLOAD BAHAN KULIAH, PUISI, TRIK BLOG, SHARE PENGALAMAN DAN ILMU PENGETAHUAN|